B.J. Habibie
Baharuddin
Jusuf Habibie atau B.J. Habibie adalah Presiden Republik Indonesia yang
ketiga.
Ia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan
presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatannya digantikan oleh
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih pada 20 Oktober 1999 oleh
suara MPR dari hasil Pemilu 1999.
Habibie
dilahirkan di Pare-Pare, Sulawesi Selatan dan belajar di Institut
Teknologi Bandung (ITB) periode 1955-1965.
Ia belajar teknik penerbangan
di RWTH Aachen, Jerman. Ia memperoleh gelar diploma pada tahun 1960 dan
gelar doktor pada tahun 1965. Kemudian Habibie bekerja di Messerschmitt
Bölkow Blohm di Hamburg, Jerman.
Sebelum menjabat Presiden, B.J.
Habibie adalah Wakil Presiden (Maret 1998 - 21 Mei 1998) dalam Kabinet
Pembangunan VII di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dan Menteri
Negara Riset dan Teknologi periode 1978-1998. Pada masa jabatannya
sebagai menteri ia pun diangkat menjadi ketua umum ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia). Pendidikan :
- ITB Bandung, tahun 1954 -
Rheinisch Westfalische Technische Hochscule (RWTH), Aachen, Jerman,
dengan gelar Diplom-Ingenieur, predikat Cum laude pada Fakultas
Mekanikal Engineering, Departemen Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang
(1955-1960)
- Rheinisch Westfalische Technische Hochscule (RWTH),
Aachen, Jerman, dengan gelar doktor konstruksi pesawat terbang, predikat
Summa Cum laude, pada Fakultas Mekanikal Engineering, Departemen Desain
dan Konstruksi Pesawat Terbang (1960-1965)
- Gelar profesor tentang
konstruksi pesawat terbang di ITB Bandung (1977)
Karir :
- Kepala Riset
dan Pengembangan Analisis Struktur pada perusahaan Hamburger
Flugzeugbau Gmbh, Hamburg, Jerman (1965-1969)
- Kepala Divisi Metode dan
Teknologi pada Pesawat Komersial dan Angkut Militer MBB Gmbh, di
Hamburg dan Munchen (1969-19973)
- Wakil Presiden dan Direktur Teknologi
pada MBB Gmbh, Hamburg dan Munchen (1973-1978)
- Penasehat Senior
Teknologi pada Dewan Direksi MBB (1978)
- Pemimpin Divisi Advanced
Technology Pertamina, yang merupakan cikal bakal BPPT (1974-1978)
-
Penasehat Pemerintah Indonesia di Bidang Pengembangan Teknologi dan
Pesawat Terbang (1974-1978)
- Menteri Negara Riset dan Teknologi
(Menristek) sekaligus Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi/BPPT (1978-1998)
- Wakil Presiden RI (11 Maret 1998 - 21 Mei
1998)
- Presiden RI (21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999) Organisasi : Pendiri
dan Ketua Umum ICMI
PROFESSIONAL TEACHING
Pendahuluan
Permasalahan
belajar sebenarnya memiliki kandungan substansi yang “misterius’.
Berbagai macam teori belajar telah ditawarkan para pakar pendidikan
dengan belahar dapat ditempuh secara efektif dan efisien, dengan
implikasi waktu cepat dan hasilnya banyak. Namun, sampai saat ini belum
ada satupun teori yang dapat menawarkan strategi belajar secara tuntas.
Masih banyak persoalan-persoalan belajar yang belum tersentuh oleh
teori-teori tersebut.
Kompleksitas
persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab
sulitnya menuntaskan strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti
dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun yang
eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal terdapat guru yang
sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses tidaknya para siswa dalam
belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Ketika berada
di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di
sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu, masyarakat
menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami perubahan-perubahan
positif-konstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru.
Harapan
ini menjadi suatu yang niscaya terutama ketika dikaitkan dengan mutu
pendidikan. Pembahasan mutu pendidikan betapapun akan terfokuskan pada
input- proses-output. Input terkait dengan masyarakat sebagai
“pemasok”sedangkan outuput terakait dengan masyarakat sebagai pengguna.
Adapun proses terkait dengan guru sebagai pembimbing. Dataran proses
inilah yang paling determinan dalam mewujudkan sitasi pembelajaran di
sekolah baik yang membelenggu, atau sebaliknya membebaskan,
membangkitkan dan menyadarkan.
Proses Pembelajaran yang Membelenggu
Ada
ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi
pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu
dan pendidikan sebagai pembebas individu
1. Letak daya tarik dari
pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu.
Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan
sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi
sebaliknya,s ebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya
bahwa penddikan bisa juga “berbahaya”bagi kemandirian, kreativitas dan
kebebasan siswa sebagai individu.
Dalam
kaitannya dengan fungsi negatif yakni pendidikan sebagai pembelenggu
ini agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran yang
dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan evaluasi, di kalanga
kita sendiri memam\ng terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam
pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis
siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membaayakan masa depan siswa
seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah.
Dalam
suatu kelas tidak jarang guru melempar suatu pertanyaan yang harus
dijawab siswa. Ada seorang siswa yang berani menjawab pertanyaan dengan
penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati guru. Apa yang terjadi
justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya di sekitar
tertawa sedang guru mengatakan, “tidak, itu salah. Saya heran
melihatmu”
2. Kasus ini menurut Bobbi Deporter and Mike Hernacki, adalah
awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar menjadi
tugas sangat berat. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai
menguragi resiko sedikit demi sedikit
3. Sebab dia merasa malu dan
dipermalukan dihadapan banyak anak. Kesan negatif ini terus membayangi
dalam perkembangan lantaran komentar itu.
Komentar negatif selama ini seringkali diterima
anak bukan saja di sekolah,melainka juga di rumah atau di lingkungan
masyarakat. Pada 1982, seorang pakar masalah kepercayaan diri, Jack
canfield melaporkan bahwa hasil penelitian dalam sehari setiap anak
rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75
komentar positif yang bersifat mendukung. Jadi,komentar negatif enam
kali lebi banyak dari pada komentar positif4. Suasana seperti ini
berbahaya bagi masa depan anak, mereka bisa merasa tegang dan terbebani
ketika misalnay disuruh belajar. Dinding-dinding kelas dirasakan sebagai
dinding-dinding tempat penjara.
Model pembelajaran berikutnya yang
dapat membelenggu dan menindas siswa adalah sebagaimana yang Paulo
Freire disebut sebagai pendidikan ”gaya bank”. Model ini menurut
pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan menabung: para murid sebagai
celengannya sedangkan guru sebagai penbungnya..
5. Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.
6. Semakin banyak murid yang meyimpan tabungan, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya.
7. Sesungguhnya,
belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat, yang menuntut skap
kritis sistemik (Sistemic Critical Attitude) dan kemampuan intelektual
yang hanya dapat diperoleh dengan praktek langsung. Sikap kritis sama
sekali tidak dapat dihasilkan melalui pendidikan yang bergaya
bank(banking action) ini.
8. Dalam pendidikan model ini, yang dibutuhkan
buka pemahaman isi, tetapi sekedar hafal(memorization). Bukan memahami
teks, tetapi hanya menghafal dan jika siswa siswa melakukannya berarti
siswa telah memenuhi kewajibannya.
9. Padahal hafalan hanya akan menumpuk
pengetahuan dalam arti pasif, karena tanpa upaya pengembangan sama
sekali sebagai yang menjadi karakternya selama ini.
Selanjutnya
pembelajaran model bank ini telah menempatkan guru dan siswa dalam
posisi berhadap-hadapan. Guru sebagai subyek dan siswa sebagai obyek,
guru yang “menakdirkan” sedangkan siswa yang “ditakdirkan”, guru sebagai
peran dan siwa sebagai yang diperankan. Secara ekstrim bahkan dapat
dikatakan guru sebagai penindas sedang siswa sebagai tertindas. Freire
setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai berikut:
- guru mengajar, murid diajar
- guru mengethui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
- guru berfikir, murid dipikirkan
- guru bercerita, murid patuh mendengarkan
- guru menentukan peraturan, murid diatur
- guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya
- guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
- guru memiliki bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
-
guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan
jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid
- guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka
10. Pengajaran
model demikian ini memposisiskan guru sebagai pihak yang
”menang”sedangkan siswa sebagai pihak yang “kalah”, suatu dikootomi yang
mestinya tidak layak terjadi mengingat pengajaran bukan proses
perbandingan sehingga ada yang menag dan ada yang kalah. Dengan istilah
lain pengajar ini terkadang disebut pengajaran model komando. Seorang
komandan dalam militer posisinya selalu diatas, memegang perintah yang
harus ditaati.
Pengajaran
model gaya komando ini memerankan guru, yang oleh S. Nasution disebut
guru yang bertipe dominatif sebagai lawan dari tipe integrative.
11.
Pengajaran tersebut mendapat kritik keras karena mematikan semangat
demokratisasi dan kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan
keagamaannya.
12. Guru merasa memiliki wewenang apa saja yang berkaitan
dengan pembelajaran dan tidak boleh diganggu gugat oleh siswa maupun
pihak lain, praktis, pengajaran model tersebut hanya menjadikan guru
pandai sepihak sedangkan siswa tetap bodoh, pasif, kering ide atau
gagasan, stagnan, tertindas dan terbelenggu.
Upaya
pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu ini tidak lepas begiitu
saja-karena akibat demikian tidak pernah disadari guru dominatif
tersebut-selagi belum ada gugatan secara maksimal untuk mewujudkan
pembelajaran yang benar-benar demokratis sebagai kebutuhan pendidikan
secara mendesak.
Pembelajaran Demokratis
Sebagai
upaya untuk keluar dari pembelajaran yang membelenggu tersebut menuju
pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap
lapang dada dari guru untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
siswa guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya Freirw mengatakan,”
pendekatan yang membebaskan merupakan proses dimana pendidikan
mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang
senyata secara kritis.”
13. Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak
ada subjek yang membebaskan atau objek yan dibebaskan karena tidak ada
dikotomi antara subjek dan objek.
14. Guru dan siswa sama-sama subjek dan
objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima
dan memberi). Hanya saja jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa
sebagai pembelajar junior,jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan
karena perbedaan inilah seihingga guru tetap lebih banyak memberi kepada
siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada
siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa
berkreasi sendiri, bukan sebagai stimulus.
15. Aliran
ini sesungguhnya telah berpandangan progresif. Peran siswa telah
dimaksimalkan jauh melebihi peran-peran tradisionalnya dalam himpitan
pengajaran model gaya komando. Upaya memaksimalkan peran siswa ini
sebagai bentuk riil dari misi pembebasan siswa dari keterbelengguan
akibat penindasan guru. Melalui pembebasan ini, diharapkan siswa
memiliki kemandirian yang tinggi dalam memberdyakan potersi yang
dimiliki untuk berpendapat, bersikap dan berkreasi sendiri.
Oleh
karena itu, mesti ada dialog. “ciri aksi budaya yang meperjuangkan
kebebasan adalah dialog, sedangkan yang mengarah pada dominasi justru
anti dialog dan mendomistifikasikan rakyat.”
16. tangung jawab guru yang
menempatkan diri teman dialog bagi siswa lebih besar dari pada guru yang
hanya memindahkan informasi yang harus diingat siswa.
17. Sebab guru
sedang memupuk sikap keberanian, sikap kritis ,dan sikap toleran
terhadap pandangan yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui
tradisi saling tukar pandangan dalam menyiapkan suatu masalah.
Tradisi
dialogis ini sebagai salah satu bentuk suasana yang mendukung
pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang melibatkan para siswa dalam
proses pembelajaran secara maksimal dengan memperhatikan sepenuhnya
terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide, kreativitas, dan karya
siswa. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi subjek
dalam proses pembelajaran.
Mengingat
pentingnya dialog ini, maka pemerintah mengamanatkan melalui
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan sebagai
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga kependidikan.
Amanat itu terdapat pada pasal 40 ayat 2. Isi dari pasal tersebut
adalah:
Pendidikan dan tenaga kependidikan berkewajiban:
menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.
Mempunyai komitemen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan
Memberikan teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan keprcayaan yang diberikan kepadanya.
18. Seiring
dengan demokrasi politik. Ada tuntutan demokrasi pendidikan dalam
prakteknya berimplikasi pada demokrasi pembelajaran dengan indikasi
menciptakan suasana dialogis. Dengan demikian, peranan guru dalam
penyampaian pengetahuan menjadi sangat berkurang yang digantikan oleh
peranan siswa yang semakin menguat. Tuntutan dialog belakangan ini
sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan
demokratis, sekaligus membuktikkan adanya pergeseran posisi siswa dari
posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan.
Demikian
pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik
menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantic,
melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh
aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan
emansipatoris, dengan memerankan siswa agar lebih produktif,progresif
dan pro-aktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah
peserta didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif
pada istilah anak didik, terdidik maupun objek didik.
Oleh
karena itu, belakangan ini pengertian perencananaan untuk memberi
peluang pada siswa-siswanya mengembangkan aktivitas belajar, serta
mengeksplorasi berbagai pengalaman baru untuk mencapai berbagai
kompetensi yang diidealkannya, dan telah menjadi kesepakatan-kesepakatan
kelas bersama dengan gurunya.
19. Guru tidak banyak mencampuri mengatur
dan menegur pekerjaan anak, akan tetapi membiarkan bekerja menurut
kemampuan dan cara masing-masing sikap in cocok dengan kuirkulum
‘student centered”.
20. Selanjutnya
perkembangan paling menarik terjadi sejak
25. tahun terakhir bahwa
guru-guru di berbagai sekolah di Amerika melakukan transaksi kurikulum
dengan para siswanya. Guru menawarkan berbagai kompetendi pada siswanya,
sedang siswa memilih serta menentukan sendiri apa yang mereka pelajari
dengan gurunya itu. Implikasi adalah terjadi kajian dari sesama siswa
untuk menentukan berbagai bahan materi pelajaran yang akanmereka
pelajari dalam masa tertentu. Inilah yang disebut sebagai curriculum as
transaction and curriculum as inquiry.
21. Kasus
ini benar-benar menggambarkan pembelajaran demokratis lantaran
melibatkan siswa dalam menentukan sendiri kompetensi maupun bahan
pelajaran sesuai dengan selera dan kebutuhan mereka sendiri tanpa
paksaan maupun intervensi guru.keterlibatan siswaseperti ini makin
mendesak untuk direalisasikan, sehingga dibutuhkan guru yang benar-benar
professional.
Profesionalisme Guru
Profesionalisme
menjadi taruhan ketika mengahadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran
demokratis karena tuntutan tersebut merefleksikan suatu kebutuhan yang
semakin kompleks yang berasal dari siswa; tidak sekedar kemampua guru
mengauasi pelajaran semata tetapi juga kemampua lainnya yang bersifat
psikis, strategis dan produktif. Tuntutan demikian ini hanya bisa
dijawab oleh guru yang professional
Oleh
karena itu, Sudarwan Danim menegasakan bahwa tuntutan kehadiran guru
yang profesional tidak pernah surut, karena dalam latar proses
kemanusiaan dan pemanusiaan,ia hadir sebagai subjek paling diandalkan,
yang sering kali disebu sebagai Oemar bakri.
22. Istilah
professional berasal dari profession, yang mengandung arti sama dengan
occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh
melalui pendidikan atau latihan khusus..
23. Ada beberapa pengertian yang
berkaitan dengan professionalisme yaitu okupasi, profesi dan amatif.
Terkadang membedakan antar para professional, amatir dan delitan.
24. Maka
para professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah
memperoelh pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk pekerjaan itu.
Kemudian
bagaimanakah hubungan profesional dengan kompetensi? M. Arifin
menegaskan bahwa kompetensi itu bercirikan tiga kemampua profesional
yang kepribadian guru, penguasa ilmu dan bahan pelajaran, dan
ketrampilan mengajar yang disebut the teaching triad.
26. Ini
berarti antara profesi dan kompetensi memilki hubungan yang erat:
profesi tanpa kompetensi akan kehilangan makna, dankopetensi tanpa
profesi akan kehilanga guna.
27. Untuk memahami profesi, kita harus mengenali melaui Ciri-cirnya. Adapun ciri-ciri dari suatu profesi adalah:
- memiliki suatu keahlian khusus
- merupakan suatu penggilan hidup
- memiliki teori-teori yang baku secara universal
- mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri
- dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif
- memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya
- mempunyai kode etik
- mempunyai klien yang jelas
- mempunyai organisasi profesin yang kuat
- mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang alin.
28. Ciri-ciri
tersebut masih general, karena belum dikaitkan dengan bidang keahlian
tertentu. Bagi profesi guru berarti ciri-ciri itu lebih spesifik lagi
dalam kaitannya dengan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran baik di
dalam maupun di luar kelas.
Mengenai
kompetensi, di Indonesia telah ditetapkan sepuluh kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu:
(1) memiliki
kepribadian ideal sebagai guru;
(2) penguasaan landasan pendidikan;
(3)menguasai bahan pengajaran;
(4)kemampuan menyusun program pengajaran;
(6) kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar;
(7)kemampuan
menyelenggarakan program bimbingan;
(8) kemampuan menyelenggarakan
administrasi sekolah;
(9) kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat
dan masyarakat; dan
(10) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana
untuk keperluan pengajaran.
29. Dengan
begitu, tugas guru menjadi lebih luas lagi dari pada proses
mentransmisikan pengetahuan, membangun afeksi, dan mengembangkan fungis
psikomotorik,karena di dalamnya terkandung finsi-funsi produksi.
30. Guru
yang mogok mengajar apapun alasannya merupakan counter productive proses
pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan universal itu.
31.
dari sisi etika keguruan juga tidak layak terjadi sebab figu guru
menjadi panutan di kalangan masyarakat setidaknya bagi para siswanya
sendiri. Disini predikat guru sebagai pendidikitu berkonotasi dengan
tindakan-tindakan yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam semua
perilakunya.
Sebagai
pendidik, guru harus professional sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-undang Sitem Pendiidkan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2:
Pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabidaian
kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada pergurua tinggi.
32. Ketentuan
ini mencakup tipe macam kegiatan yang harus dilaksanakan oeh guru yaitu
pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat. Beban ini tidak ada
bedanya denganbebabn bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara
hierarchy melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya.
Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian melambangkan
upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan pemberian
kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai
tersebut.
Dari
ketiga kegiatan tersebut, terutama penelitian menuntut sikap gurui
dinamis sebagai seorang professional. ‘seorang profesional adalah
seorang yang terus meneur berkembang atau trainable.
33. Untuk mewujudkan
keadaan dinamis ini pendidikan guru harus mampu membeklai kemampuan
kreativitas, rasionalitas, ketrlatihan memecahkan masalah , dan
kematangan emosionalnya.
34. Semua bekal ini dimaksudkan mewujudkan guru
yang berkualitas sebagai tenaga profesional yang sukses dalam
menjalankan tugasnya.
Keberhasilan
guru dapat ditinjau dari dua segi proses dan dari segi hasil. Dari segi
proses, guru berhasil bila mampu melibatkan sebagian besar peserta
didik secara aktif baik fisik, mental maupun sosial dalam proses
pembelajaran, juga dari gairah dan semangat mengajarnya serta adanya
rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, guru berhasil bila
pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku pada sebagian
besar peserta didik ke arah yang lebih baik.
35. Sebaliknya,dari sisi
siswa, belajar akan berhasil bila memenuhi dua persyaratan:
(1) belajar
merupakan sebuah kebutuhan siswa, dan
(2)ada kesiapan untuk belajar,
yakni kesiapan memperoleh pengalaman-pengalaman baru baik pengetahuan
maupun ketrampilan.
36. Hal
ini merupakan gerakan dua arah, yaitu gerakan profesional dari guru dan
gerakan emosional dari siswa. Apabila yang bergerak hanya satu pihak
tentu tidak akan berhasil, yang dalam istilah sehari-hari disebut
bertepuk sebelah tangan. Sehebat-hebatnya potensi guru selagi tidak
direspons positif oleh siswa, pasti tidak berarti apa-apa. Jadi gerakan
dua arah dalam mensukseskan pembelajaran antara guru dan siswa itu
sebagai gerakan sinergis.
Bagi
guru yang profesioanl, dia harus memiliki kriteria-kriteria tertentu
yang positif. Gilbert H. Hunt menyatakan bahwa guru yang baik itu harus
memenuhi tujuh kriteria:
- sifat positif dalam membimbing siswa
- pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang dibina
- mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap
- mampu menguasai metodologi pembelajaran
- mampu memberikan harapan riil terhadap siswa
- mampu merekasi kebutuhan siswa
- mampu menguasi manajemen kelas
37. Disamping
itu ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi guru yang
profesional yaitu kondisi nyaman lingkungan belajar yang baik secara
fisik maupun psikis. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40
ayat 2 bagian 2 di muka menyebut dengan istilah menyenangkan. Demikia
juga E. Mulyasa menegaskan, bahwa tugas guru yang paling utama adalah
bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan, agar
dapat membangkitkan rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga timbul
minat dan nafsunya untuk belajar
38. Adapun Bobbi Deporter dan Mike
Hernachi menyarankan agar memasukkan musik dan estetika dalam pengalama
belajar siswa
39. karena musik berhubungan dan mempengaruhi kondisi
fisiologis siswa
40 ayng diiringi musik membuat pikiran selalu siap dan
mampu berkonsentrasi.
41 dalam situasi otak kiri sedang bekerja, masuk
akan membangkitkan reaksi otak kanan yang intuitif dan kreatif sehingga
masukannya dapat dipadukan dengan keseluruhan proses
42. Terkait
dengan suasana yang nyaman ini, perlu dipikirkan oleh guru yang
profesional yaitu menciptakan situasi pembelajaran yang bisa menumbuhkan
kesan hiburan. Mungkin semua siswa menyukai hiburan, tetapi mayoritas
mereka jenuh dengan belajar. Bagi mereka belajar adalah membosankan,
menjenuhkan, dan di dalam kelas seperti di dalam penjara. Dari evaluasi yang
didasarkan pada pengamatan ini, maka sangat dibutuhkan adanya proses
pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi
“pekerjaan rumah”bagi para guru khususnya guru yang profesional.
Kesimpulan
Selama
ini model pembelajaran dalam pendidikan masih seperti ungkapan paul
Freire, pendidikan”gaya bank” yang bersifat penindasan pada siswa.
Keadaan ini harus diubah menjadi pendidikan (Pembelajaran) yang
demokratis yang membawa misi pembebasan bagi mereka. Untuk mewujudkan
model pendidikan yang emansipatoris itu dibutuhkan guru yang
profesional.
Profesional
guru tercermin dalam berbagai keahlian yang dibutuhkan pembelajaran
baik terkaut dengan bidang keilmuan yang diajarkan,”kepribadian”,
metodologi, pembelajaran, maupun psikologi belajar.
DAFTAR RUJUKAN
Pernyataan
Ahli Sosiologi ini dikutip Sodiq. A Kuntoro, Dimensi Manusia dalam
Pemikiran Indonesia, Yogyakarta: CV Bur Cahaya, 1985)H. 34
Bobbi Deporter dan Mieke Hernachi, Quantum Learning Membiasakan BelajarNyaman dan Menyenangkan,(Bandung:Kaifa, 2002) H.24
Paulo
Freire, Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan,
Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dengan ead, 2002) H.28
Freire, Pendidikan, Hh 51-52
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), H.116
Mska Masstlon,Tracking from Command to Discovery, (California; Wadsworth Publishing Company, 1972), H.43
Donald P. Kauchos\ck And Paul D. Eggen , Learning And Teaching Research Basid Methods,(Baston: Allya And Baron, 1998), P.6
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Ttp: Pustaka Widyatama, Tt), P.6
Dede
Rosyada, Paradigma Pendidikan DemokratisSebuah Pelibatan Masyarakat
dalam Penyelenggaraan Pendidika, (Jakarta: Prenada Media, 2004), H. 92
Nasution, Sosiologi, H. 116
Jerry Aldridge And Renetta Soldman, Current Issues And Trends In Education, (Boston, USA: Allya And Baron, 2002), H. 77
Sudarwan Danim,Agenda Pemabruan Sistem Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), H. 191-192
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan(Islam dan Umum),(Jakarta: Bumi Aksara, 1991). H. 105
H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru PendidikanNasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), H. 137
Ibid
Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan ,(Yogyakarta:LESFI, 2003), H.
E. Mulwoso, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsp, Karakteristik dan Implementas, (Bandug: PT Remaja Rosdakarya,2002) H.187
S.K Kockar, Methods And Technique of Teaching, Delhi India: Sterling Publisher, 1967), P. 28
Gilbert
H. Hunt, Et Al. efectie Teaching, Preparation And Implementation,
Illnois: Charless C. Thomas Publiesher, 1999), P. 15-16
Mulyoso, Kurikulum,H. 188
Ciri-Ciri Guru Konstruktivis
Menurut
Brooks & Brooks (Iim Waliman, dkk. 2001) terdapat beberapa ciri
yang menggambarkan seorang guru yang konstruktivis dalam melaksanakan
proses pembelajaran siswa, yaitu:
- Guru mendorong, menerima inisiatif dan kemandirian siswa.
- Guru menggunakan data mentah sebagai sumber utama pada fokus materi pembelajaran.
- Guru memberikan tugas-tugas kepada siswa yang terarah pada pelatihan
kemampuan mengklasifikasi, menganalisis, memprediksi, dan menciptakan.
- Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguraikan isi pelajaran dan mengubah strategi belajar mengajar.
- Guru melakukan penelusuran pemahaman siswa terhadap suatu konsep sebelum memulai pembelajaran.
- Guru mendorong terjadinya dialog dengan dan antar siswa.
- Guru mendorong siswa untuk berfikir, melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka dan mendorong siswa untuk bertanya sesama teman.
- Guru melakukan elaborasi respon siswa siswa, baik yang sudah benar maupun yang belum benar.
- Guru melibatkan siswa pada pengalaman yang menimbulkan kontradiksi dengan hipotesis siswa dan mendiskusikannya.
- Guru memberikan waktu berfikir yang cukup bagi siswa dalam menjawab pertanyaan
- Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba menghubungkan beberapa hal yang dipelajari untuk meningkatkan pemahaman.
- Guru di akhir pembelajaran memfasilitasi proses penyimpulan melalui acuan yang benar.
Sumber :
Iim Waliman, dkk. 2001. Pengajaran Demokratis (Modul Manajemen Berbasis Sekolah). Bandung : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
@ http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/01/ciri-ciri-guru-konstruktivis/
copyright @ by Oe!xhaeLz$
GURU KREATIF
Tips menjadi guru yang disukai siswa
Siapa yang tidak mau menjadi guru yang disukai siswa. Semua guru
sepertinya mengharapkan ini. Tapi tahukah anda bahwa semakin minta
disukai siswa semakin jauh kita dari kriteria guru yang layak disukai
siswa? jika disukai siswa menjadi tujuan kita sebagai guru tidak ada
yang namanya profesionalisme lagi, yang ada hanyalah menuruti apa yang
siswa mau dan inginkan, bahkan bila yang diinginkan sudah keluar jalur
kegiatan belajar dan mengajar.
Menjadi guru yang disukai bukan perkara mudah tapi juga tidak sulit,
saya pribadi pun masih dalam upaya untuk bisa disukai siswa. Namun tidak
ada yang tidak mungkin di dunia ini, dimana ada kemauan disitu ada
jalan. Berikut ini adalah caranya.
- Tidak terlalu banyak melaksanakan metode ceramah
- Memberikan contoh kepada siswa apa yang ia ingin siswa lakukan. Jika
anda sebagai guru berharap siswa anda hormat pada anda, silahkan
terlebih dahulu menjaga harga diri siswa anda di kelas.
- Jika marah atau kecewa pada siswa, berbicara lah pada mereka dan bukan berteriak.
- berbagi senyum tulus pada semua siswa. Siswa yang dicap sebagai anak
yang ‘bermasalah’ akan luntur dan akan menyukai anda jika anda berikan
senyum pada mereka.
- Memotivasi siswa dengan cara memotivasi dan bukan menyindir.
- Menggunakan humor pada tempat dan saat yang tepat.
- Mudah diajak berteman oleh siswa dan bukan menjadi teman siswa.
Mudah diajak berteman artinya anda pihak yang pasif dalam berkomunikasi
namun tetap dengan cara yang profesional. Berusaha menjadi teman siswa
hanya akan menyulitkan situasi anda dikemudian hari.
- Penyabar dan menganggap semua siswa sedang berproses. Hindari
meneruskan warisan guru lain dengan melanjutkan cap yang sudah diterima
oleh siswa tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar