Amiin Ya Mujiibas Sa’iliin.
7. Mengenal Jenis Dzikir
Ada pelajaran yang amat menarik
dari Ibnul Qayyim rahimahullah. Dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib,
juga kitab beliau lainnya yaitu Madarijus Salikin dan Jala-ul Afham
dibahas mengenai berbagai jenis dzikir. Dari situ kita dapat melihat
bahwa dzikir tidak terbatas pada bacaan dzikir seperti tasbih
(subhanallah), tahmid (alhamdulillah) dan takbir (Allahu akbar) saja.
Ternyata dzikir itu lebih luas dari itu. Mengingat-ingat nikmat Allah
juga termasuk dzikir. Begitu pula mengingat perintah Allah sehingga
seseorang segera menjalankan perintah tersebut, itu juga termasuk
dzikir. Selengkapnya silakan simak ulasan berikut yang kami sarikan
dari penjelasan beliau rahimahullah.
Dzikir itu ada tiga jenis:
Jenis Pertama:
Dzikir dengan mengingat nama dan sifat Allah serta memuji, mensucikan Allah dari sesuatu yang tidak layak bagi-Nya.
Dzikir jenis ini ada dua macam:
Macam
pertama: Sekedar menyanjung Allah seperti mengucapkan “subhanallah wal
hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar”, “subhanallah wa
bihamdih”, “laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah lahul mulku wa
lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir”.
Dzikir
dari macam pertama ini yang utama adalah apabila dzikir tersebut lebih
mencakup banyak sanjungan dan lebih umum seperti ucapan “subhanallah
‘adada kholqih” (Maha suci Allah sebanyak jumlah makhluk-Nya). Ucapan
dzikir ini lebih afdhol dari ucapan “subhanallah” saja.
Macam
kedua: Menyebut konsekuensi dari nama dan sifat Allah atau sekedar
menceritakan tentang Allah. Contohnya adalah seperti mengatakan, “Allah
Maha Mendengar segala yang diucapkan hamba-Nya”, “Allah Maha Melihat
segala gerakan hamba-Nya, “tidak mungkin perbuatan hamba yang samar
dari penglihatan Allah”, “Allah Maha menyayangi hamba-Nya”, “Allah
kuasa atas segala sesuatu”, “Allah sangat bahagia dengan taubat
hamba-Nya.”
Dan sebaik-baik dzikir jenis ini adalah
dengan memuji Allah sesuai dengan yang Allah puji pada diri-Nya dan
memuji Allah sesuai dengan yang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
memuji-Nya, yang di mana ini dilakukan tanpa menyelewengkan, tanpa
menolak makna, tanpa menyerupakan atau tanpa memisalkan-Nya dengan
makhluk.
Jenis Kedua:
Dzikir dengan mengingat perintah, larangan dan hukum Allah.
Dzikir jenis ini ada dua macam:
Macam pertama: Mengingat perintah dan larangan Allah, apa yang Allah cintai dan apa yang Allah murkai.
Macam kedua: Mengingat perintah Allah lantas segera menjalankannya dan mengingat larangan-Nya lantas segera menjauh darinya.
Jika
kedua macam dzikir (pada jenis kedua ini) tergabung, maka itulah
sebaik-baik dan semulia-mulianya dzikir. Dzikir seperti ini tentu lebih
mendatangkan banyak faedah. Dzikir macam kedua (pada jenis kedua ini),
itulah yang disebut fiqih akbar. Sedangkan dzikir macam pertama masih
termasuk dzikir yang utama jika benar niatnya.
Jenis ketiga:
Dzikir dengan mengingat berbagai nikmat dan kebaikan yang Allah beri.
Dzikir dengan Hati dan Lisan
Dzikir bisa jadi dengan hati dan lisan. Dzikir semacam inilah yang merupakan seutama-utamanya dzikir.
Dzikir kadang pula dengan hati saja. Ini termasuk tingkatan dzikir yang kedua.
Dzikir kadang pula dengan lisan saja. Ini termasuk tingkatan dzikir yang ketiga.
Sebaik-baik
dzikir adalah dengan hati dan lisan. Jika dzikir dengan hati saja,
maka itu lebih baik dari dzikir yang hanya sekedar di lisan. Karena
dzikir hati membuahkan ma’rifah, mahabbah (cinta), menimbulkan rasa
malu, takut, dan semakin mendekatkan diri pada Allah. Sedangkan dzikir
yang hanya sekedar di lisan tidak membuahkan hal-hal tadi.
Pelajaran
Jika
kita perhatikan dengan seksama apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim
di atas, dapat kita simpulkan bahwa duduk di majelis ilmu yang membahas
bagaimana mengenal Allah melalui nama dan sifat-Nya, bagaimana
mengetahui secara detail hukum-hukum Allah berupa perintah dan
larangan-Nya, itu semua termasuk dzikir. Bahkan jika sampai ilmu itu
membuahkan seseorang bersegera taat pada Allah dan menjauhi
larangan-Nya, itu bisa menjadi dzikir yang utama sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnul Qayyim sebagai fiqih akbar. Namun jika sekedar
mengilmuinya saja, itu pun sudah termasuk dzikir. Itu berarti bukan
suatu hal yang sia-sia jika seseorang berlama-lama duduk di majelis ilmu
untuk mendengarkan nasehat para ulama yang di mana di dalamnya dibahas
hal yang lebih detail tentang Allah, dibahas pula berbagai perintah
dan larangan-Nya. Ini sungguh merupakan dzikir yang amat utama.
Semoga Allah menganugerahkan pada kita semangat dan keistiqomahan untuk terus belajar dan tidak lalai dari dzikir pada-Nya.
8. 51 Keutamaan Dzikir
(1) Dengan dzikir akan mengusir setan.
(2) Dzikir mudah mendatangkan ridho Ar Rahman.
(3) Dzikir dapat menghilangkan gelisah dan hati yang gundah gulana.
(4) Dzikir membuat hati menjadi gembira dan lapang.
(5) Dzikir menguatkan hati dan badan.
(6) Dzikir menerangi hati dan wajah pun menjadi bersinar.
(7) Dzikir mudah mendatangkan rizki.
(8) Dzikir membuat orang yang berdzikir akan merasakan manisnya iman dan keceriaan.
(9) Dzikir akan mendatangkan cinta Ar Rahman yang merupakan ruh Islam.
(10)
Dzikir akan mendekatkan diri seseorang pada Allah sehingga
memasukkannya pada golongan orang yang berbuat ihsan yaitu beribadah
kepada Allah seakan-akan melihatnya.
(11) Dzikir akan
mendatangkan inabah, yaitu kembali pada Allah ‘azza wa jalla. Semakin
seseorang kembali pada Allah dengan banyak berdzikir pada-Nya, maka
hatinya pun akan kembali pada Allah dalam setiap keadaan.
(12)
Dengan berdzikir, seseorang akan semakin dekat pada Allah sesuai
dengan kadar dzikirnya pada Allah ‘azza wa jalla. Semakin ia lalai dari
dzikir, ia pun akan semakin jauh dari-Nya.
(13) Dzikir
akan semakin menambah ma’rifah (pengenalan pada Allah). Semakin banyak
dzikir, semakin bertambah ma’rifah seseorang pada Allah.
(14)
Dzikir mendatangkan rasa takut pada Rabb ‘azza wa jalla dan semakin
menundukkan diri pada-Nya. Sedangkan orang yang lalai dari dzikir akan
semakin terhalangi dari rasa takut pada Allah.
(15) Dzikir akan mudah meraih apa yang Allah sebut dalam ayat ,فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“Ingatlah
pada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian.” (QS. Al Baqarah: 152). Ibnul
Qayyim mengatakan, “Seandainya tidak ada keutamaan dzikir selain yang
disebutkan dalam ayat ini, maka sudahlah cukup keutamaan yang
disebut.”
(16) Dengan dzikir, hati akan semakin hidup. Ibnul Qayyim pernah mendengar gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
الذكر للقلب مثل الماء للسمك فكيف يكون حال السمك إذا فارق الماء ؟
“Dzikir pada hati semisal air yang dibutuhkan ikan. Lihatlah apa yang terjadi jika ikan tersebut lepas dari air?”
(17)
Hati dan ruh semakin kuat dengan dzikir. Jika seseorang melupakan
dzikir maka kondisinya sebagaimana badan yang hilang kekuatan. Ibnul
Qayyim rahimahullah menceritakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
sesekali pernah shalat Shubuh dan beliau duduk berdzikir pada Allah
Ta’ala sampai beranjak siang. Setelah itu beliau berpaling padaku dan
berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir
seperti ini, hilanglah kekuatanku’ –atau perkataan beliau yang semisal
ini-.
(18) Dzikir menjadikan hati semakin kilap yang
sebelumnya berkarat. Karatnya hati disebabkan lalai dari dzikir pada
Allah. Sedangkan kilapnya hati adalah dengan dzikir, taubat dan
istighfar.
(19) Dzikir akan menghapus dosa karena dzikir adalah kebaikan terbesar dan kebaikan akan menghapus kejelekan.
(20) Dzikir pada Allah dapat menghilangkan kerisauan.
(21) Ketika seorang hamba rajin mengingat Allah (berdzikir), maka Allah akan mengingat dirinya di saat ia butuh.
(22) Jika seseorang mengenal Allah -dengan dzikir- dalam keadaan lapang, Allah akan mengenalnya dalam keadaan sempit.
(23) Dzikir akan menyelematkan seseorang dari adzab neraka.
(24) Dzikir menyebabkan turunnya sakinah (ketenangan), naungan rahmat, dan dikelilingi oleh malaikat.
(25)
Dzikir menyebabkan lisan semakin sibuk sehingga terhindar dari ghibah
(menggunjing), namimah (adu domba), dusta, perbuatan keji dan batil.
(26) Majelis dzikir adalah majelis para malaikat dan majelis orang yang lalai dari dzikir adalah majelis setan.
(27) Orang yang berzikir begitu bahagia, begitu pula ia akan membahagiakan orang-orang di sekitarnya.
(28) Dzikir akan memberikan rasa aman bagi seorang hamba dari kerugian di hari kiamat.
(29) Karena tangisan orang yang berdzikir, Allah akan memberikan naungan ‘Arsy padanya di hari kiamat yang amat panas.
(30) Sibuknya seseorang pada dzikir adalah sebab Allah memberi untuknya lebih dari yang diberikan pada peminta-minta.
(31) Dzikir adalah ibadah yang paling ringan, namun ibadah tersebut amat mulia.
(32) Dzikir adalah tanaman surga.
(33) Pemberian dan keutamaan yang diberikan pada orang yang berdzikir tidak diberikan pada amalan lainnya.
(34)
Senantiasa berdzikir pada Allah menyebabkan seseorang tidak mungkin
melupakan-Nya. Orang yang melupakan Allah adalah sebab sengsara dirinya
dalam kehidupannya dan di hari ia dikembalikan. Seseorang yang
melupakan Allah menyebabkan ia melupakan dirinya dan maslahat untuk
dirinya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan
janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka Itulah orang-orang
yang fasik.” (QS. Al Hasyr: 19)
(35) Dzikir adalah cahaya bagi pemiliknya di dunia, kubur, dan hari berbangkit.
(36)
Dzikir adalah ro’sul umuur (inti segala perkara). Siapa yang dibukakan
kemudahan dzikir, maka ia akan memperoleh berbagai kebaikan. Siapa
yang luput dari pintu ini, maka luputlah ia dari berbagai kebaikan.
(37) Dzikir akan memperingatkan hati yang tertidur lelap (yang lalai). Hati bisa jadi sadar dengan dzikir.
(38)
Orang yang berdzikir akan semakin dekat dengan Allah dan bersama
dengan-Nya. Kebersamaan di sini adalah dengan kebersamaan yang khusus,
bukan hanya sekedar Allah itu bersama dalam arti mengetahui atau
meliputi hamba-Nya. Namun kebersamaan ini menjadikan lebih dekat,
mendapatkan perwalian, cinta, pertolongan dan taufik Allah. Kebersamaan
yang dimaksudkan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An Nahl: 128)
وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 249)
وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69)
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
“Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At Taubah: 40)
(39)
Dzikir dapat menyamai seseorang yang memerdekakan budak, menafkahkan
harta, juga dapat menyamai seseorang yang menunggang kuda dan berperang
dengan pedang (dalam rangka berjihad) di jalan Allah.
Sebagaimana terdapat dalam hadits,
مَنْ
قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ
الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . فِى
يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ
“Barangsiapa
yang mengucapkan ‘Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul
mulku, wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syain qodiir dalam sehari
sebanyak 100 kali, maka itu seperti memerdekakan 10 budak.”[1]
Ibnu
Mas’ud mengatakan, “Sungguh aku banyak bertasbih pada Allah Ta’ala
(mengucapkan subhanallah) lebih aku sukai dari beberapa dinar yang aku
infakkan fii sabilillah (di jalan Allah).”
(40) Dzikir
adalah inti dari bersyukur. Tidaklah dikatakan bersyukur pada Allah
Ta’ala orang yang enggan berdzikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda pada Mu’adz,
« يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى
لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ ». فَقَالَ « أُوصِيكَ يَا
مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ
أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ »
“Wahai
Mu’adz, demi Allah, sungguh aku mencintaimu. Demi Allah, aku
mencintaimu.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku
menasehatkan kepadamu –wahai Mu’adz-, janganlah engkau tinggalkan di
setiap akhir shalat bacaan ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika
wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah tolonglah aku untuk berdzikir dan
bersyukur serta beribadah yang baik pada-Mu).”[2] Dalam hadits ini
digabungkan antara dzikir dan syukur. Begitu pula Allah Ta’ala
menggabungkan antara keduanya dalam firman Allah Ta’ala,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
(QS. Al Baqarah: 152). Hal ini menunjukkan bahwa penggabungan dzikir
dan syukur merupakan jalan untuk meraih bahagia dan keberuntungan.
(41)
Makhluk yang paling mulia adalah yang bertakwa yang lisannya selalu
basah dengan dzikir pada Allah. Orang seperti inilah yang menjalankan
perintah dan menjauhi larangan Allah. Ia pun menjadikan dzikir sebagai
syi’arnya.
(42) Hati itu ada yang keras. Kerasnya hati
dapat dilebut dengan berdzikir pada Allah. Oleh karena itu, siapa yang
ingin sembuh dari hati yang keras, maka perbanyaklah dzikir pada Allah.
Ada
yang berkata kepada Al Hasan, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadukan padamu
akan kerasnya hatiku.” Al Hasan berkata, “Lembutkanlah dengan dzikir
pada Allah.”
Ketika hati semakin lalai, semakin keras
hati tersebut. Jika seseorang berdzikir pada Allah, lelehlah kekerasan
hati sebagaimana timah itu dapat meleleh dengan api. Kerasnya hati akan
meleleh semisal itu, yaitu dengan dzikir pada Allah.
(43) Dzikir adalah obat hati sedangkan lalai dari dzikir adalah penyakit hati.
Mak-huul,
seorang tabi’in, berkata, “Dzikir kepada Allah adalah obat (bagi
hati). Sedangkan sibuk membicarakan (‘aib) manusia, itu adalah
penyakit.”
(44) Tidak ada sesuatu yang membuat seseorang
mudah meraih nikmat Allah dan selamat dari murka-Nya selain dzikir pada
Allah. Jadi dzikir adalah sebab datangnya nikmat dan tertolaknya murka
Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS.
Ibrahim: 7). Dzikir adalah inti syukur sebagaimana telah disinggung
sebelumnya. Sedangkan syukur akan mendatangkan nikmat dan semakin
bersyukur akan membuat nikmat semakin bertambah.
(45)
Dzikir menyebabkan datangnya shalawat Allah dan dari malaikat bagi orang
yang berdzikir. Dan siapa saja yang mendapat shalawat (pujian) Allah
dan malaikat, sungguh ia telah mendapatkan keuntungan yang besar. Allah
Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا (41) وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً
وَأَصِيلًا (42) هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ
لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ
بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا (43)
“Hai orang-orang yang
beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan
petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari
kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan adalah Dia Maha Penyayang
kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ahzab: 41-43)
(46)
Dzikir kepada Allah adalah pertolongan besar agar seseorang mudah
melakukan ketaatan. Karena Allah-lah yang menjadikan hamba mencintai
amalan taat tersebut, Dia-lah yang memudahkannya dan menjadikan terasa
nikmat melakukannya. Begitu pula Allah yang menjadikan amalan tersebut
sebagai penyejuk mata, terasa nikmat dan ada rasa gembira. Orang yang
rajin berdzikir tidak akan mendapati kesulitan dan rasa berat ketika
melakukan amalan taat tersebut, berbeda halnya dengan orang yang lalai
dari dzikir. Demikianlah banyak bukti yang menjadi saksi akan hal ini.
(47)
Dzikir pada Allah akan menjadikan kesulitan itu menjadi mudah, suatu
yang terasa jadi beban berat akan menjadi ringan, kesulitan pun akan
mendapatkan jalan keluar. Dzikir pada Allah benar-benar mendatangkan
kelapangan setelah sebelumnya tertimpa kesulitan.
(48)
Dzikir pada Allah akan menghilangkan rasa takut yang ada pada jiwa dan
ketenangan akan mudah diraih. Sedangkan orang yang lalai dari dzikir
akan selalu merasa takut dan tidak pernah merasakan rasa aman.
(49)
Dzikir akan memberikan seseorang kekuatan sampai-sampai ia bisa
melakukan hal yang menakjubkan. Contohnya adalah Ibnu Taimiyah yang
sangat menakjubkan dalam perkataan, tulisannya, dan kekuatannya. Tulisan
Ibnu Taimiyah yang ia susun sehari sama halnya dengan seseorang yang
menulis dengan menyalin tulisan selama seminggu atau lebih. Begitu pula
di medan peperangan, beliau terkenal sangat kuat. Inilah suatu hal yang
menakjubkan dari orang yang rajin berdzikir.
(50) Orang
yang senantiasa berdzikir di jalan, di rumah, di lahan yang hijau,
ketika safar, atau di berbagai tempat, itu akan membuatnya mendapatkan
banyak saksi di hari kiamat. Karena tempat-tempat tadi, semisal gunung
dan tanah, akan menjadi saksi baginya di hari kiamat. Kita dapat
melihat hal ini pada firman Allah Ta’ala,
إِذَا
زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ
أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ
تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5)
“Apabila
bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah
mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia
bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi
menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan
(yang sedemikian itu) kepadanya.” (QS. Az Zalzalah: 1-5)
(51)
Jika seseorang menyibukkan diri dengan dzikir, maka ia akan
terlalaikan dari perkataan yang batil seperti ghibah (menggunjing),
namimah (mengadu domba), perkataan sia-sia, memuji-muji manusia (secara
berlebihan), dan mencela manusia. Karena lisan sama sekali tidak bisa
diam. Lisan boleh jadi adalah lisan yang rajin berdzikir dan boleh jadi
adalah lisan yang lalai. Kondisi lisan adalah salah satu di antara dua
kondisi tersebut. Ingatlah bahwa jiwa jika tidak tersibukkan dengan
kebenaran, maka pasti akan tersibukkan dengan hal yang sia-sia.[3]
[1]HR. Bukhari no. 3293 dan Muslim no. 2691
[2] HR. Abu Daud no. 1522, An Nasai no. 1303, dan Ahmad 5/244. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[3] Disarikan dari Al Wabilush Shoyyib, 94-198.
9. Keutamaan Berdzikir Sendirian
Imam Muslim rahimahullah
meriwayatkan di dalam Shahihnya: Zuhair bin Harb menuturkan kepadaku
demikian juga Muhammad bin al-Mutsanna. Mereka semua menuturkan dari
Yahya al-Qaththan. Zuhair mengatakan, Yahya bin Sa’id menuturkan kepada
kami dari Ubaidillah. Dia berkata, Khubaib bin Abdurrahman mengabarkan
kepadaku dari Hafsh bin ‘Ashim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari di saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
(1) Seorang pemimpin yang adil
(2) Seorang pemuda yang tumbuh dalam ketekunan beribadah kepada Allah
(3) Seorang lelaki yang hatinya selalu bergantung di masjid
(4) Dua orang lelaki yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena-Nya
(5)
Seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang perempuan cantik lagi
berkedudukan namun mengatakan, ‘Aku merasa takut kepada Allah’
(6)
Seorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sampai-sampai tangan
kanannya tidak mengerti apa yang diinfakkan oleh tangan kirinya
(terbalik, seharusnya ‘sampai-sampai tangan kirinya tidak mengerti apa
yang diinfakkan oleh tangan kanannya’)
(7) Dan juga seorang yang mengingat Allah di saat sendirian hingga kedua matanya mengalirkan air mata.”
(Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab az-Zakah dengan judul
bab ‘Shadaqah dengan tangan kanan’. Diterjemahkan secara bebas dari
as-Shahih al-Musnad min Adzkar al-Yaum wa al-Lailah, Syaikh Musthofa
al-Adawi, hal. 12-13)
Hadits ini mengandung banyak pelajaran berharga, di antaranya:
1. Penetapan adanya hari kiamat.
2. Penetapan adanya pembalasan amal.
3. Dahsyatnya peristiwa di hari kiamat.
4. Betapa lemahnya manusia di hadapan Allah ta’ala.
5. Kecintaan Allah kepada orang-orang yang taat kepada-Nya.
6.
Yang dimaksud dengan naungan Allah di sini adalah naungan Arsy-Nya
sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya yang disebutkan oleh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari.
7. Allah mencintai keadilan dan membenci kezaliman.
8. Perintah untuk menegakkan keadilan.
9. Keutamaan pemimpin yang adil.
10. Beratnya cobaan dan godaan yang menimpa seorang pemimpin.
11. Keutamaan pemuda yang tekun beribadah kepada Allah.
12.
Beratnya cobaan dan godaan yang dialami para pemuda, dan perintah
kepada para orang tua agar membina generasi muda untuk gemar taat
beribadah kepada Rabbnya.
13. Keutamaan lelaki yang hatinya bergantung di masjid.
14. Keutamaan masjid.
15. Cinta dan benci karena Allah.
16. Beramal karena Allah.
17. Dahsyatnya godaan wanita.
18.
Jalan ke Surga diliputi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan,
sedangkan jalan menuju Neraka diliputi hal-hal yang disukai oleh hawa
nafsu manusia.
19. Kewajiban menjauhkan diri dari zina.
20. Keutamaan rasa takut kepada Allah dan ia merupakan bukti kekuatan iman.
21. Keutamaan bersedekah, terlebih lagi dengan sembunyi-sembunyi.
22. Bersedekah dengan tangan kanan.
23. Keutamaan berdzikir kepada Allah, terlebih apabila sendirian.
24. Dorongan untuk ikhlas dalam beramal.
25. Keutamaan menangis karena Allah.
26. Iman mencakup ucapan, perbuatan, dan keyakinan, bisa bertambah dan berkurang.
27. Baiknya amal lahir tergantung pada amal hati.
28.
Semakin sulit keadaan seseorang untuk taat kepada Allah namun dia
tetap taat kepada-Nya maka balasan dari sisi Allah juga akan semakin
besar.
29. Penetapan kehendak pada diri Allah.
30.
Penetapan kehendak pada diri makhluk, ini adalah bantahan bagi
Jabriyah (kelompok yang mengatakan bahwa seorang hamba dipaksa dalam
melakukan perbuatan dan tidak ada hak untuk memilih, tidak ada
kekuatan, serta tidak ada kehendak baginya).
31.
Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan
menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik. Dan lain sebagainya
yang belum saya ketahui, wallahu a’lam.
10. Keutamaan Dzikir Ketika Keluar Rumah
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ
عَلَى اللَّهِ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ” قَالَ: «
يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ. فَتَتَنَحَّى لَهُ
الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ
هُدِىَ وَكُفِىَ وَوُقِىَ
“Jika seseorang keluar dari
rumahnya lalu membaca (zikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa
haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri
kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan
pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu
telah diberi petunjuk (oleh Allah Ta’ala), dicukupkan (dalam segala
keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga
setan-setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata
kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang
yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga
(oleh Allah
Ta’ala)?”[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya
keutamaan orang yang mengucapkan zikir ini ketika keluar rumah, dan
bahwa ini merupakan sebab dia diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga
oleh Allah Ta’ala[2].
Beberapa faidah penting yang dapat kita ambil dari hadits ini:
-
Keutamaan yang disebutkan dalam hadits ini akan diberikan kepada orang
yang mengucapkan zikir ini dengan benar-benar merealisasikan
konsekwensinya, yaitu berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada
Allah Ta’ala[3].
- Syaitan tidak memiliki kemampuan untuk
mencelakakan orang-orang yang benar-benar beriman dan bersandar
sepenuhnya kepada Allah Ta’ala[4], sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّهُ
لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ * إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ
وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ}
“Sesungguhnya syaitan
itu tidak memiliki kekuasaan (untuk mencelakakan) orang-orang yang
beriman dan bertawakkal (berserah diri) kepada Rabbnya. Sesungguhnya
kekuasaan syaitan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi
pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah”
(QS
an-Nahl: 99-100).
- Bertawakal (berserah diri dan
bersandar sepenuhnya) kepada Allah Ta’ala merupakan sebab utama untuk
mendapatkan petunjuk dan perlindungan Allah dalam semua urusan manusia.
Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ}
“Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (segala keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan (yang dikehendaki)-Nya” (QS ath-Thalaaq: 3).
Artinya:
Barangsiapa yang berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allah
Ta’ala dalam semua urusan agama dan dunianya, yaitu dengan bersandar
kepada-Nya dalam mengusahakan kebaikan bagi dirinya dan menolak
keburukan dari dirinya, serta yakin dengan kemudahan yang akan
diberikan-Nya, maka Allah Ta’ala akan memudahkan semua urusannya
tersebut[5].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
[1]
HR Abu Dawud (no. 5095), at-Tirmidzi (no. 3426) dan Ibnu Hibban (no.
822), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan syaikh
al-Albani.
[2] Lihat keterangan imam Ibnu Hibban dalam kitab “Shahih Ibnu Hibban” (3/104).
[3] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 157-158).
[4] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 449).
[5] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 449).
11. TAHUKAH ANDA DI MANA ALLAH?
Perjuangan gigih para
ulama’ salaf dalam membela aqidah dari qoncangan faham-faham hitam
Jahmiyyah sangatlah kuat, sehingga begitu banyak kitab para ulama yang
berjudul “Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah” (Bantahan Terhadap Jahmiyyah) seperti
yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Utsman bin Sa’id Ad-Darimi,
Ibnu Mandah, Ibnu Baththah dan lain sebagainya.
Sungguh benar Imam Ibnu Qayyim rahimahullah yang telah berkata:
“Pertempuran
antara ahli hadits dengan kelompok Jahmiyyah lebih dahsyat daripada
pertempuran antara pasukan kafir dengan pasukan Islam”.[1]
Munculnya
ide pembahasan ini karena merebaknya para pengibar bendera Jahmiyyah
di negeri ini. Sebagai contoh, Dr. M. Quraish Shihab yang mengatakan
dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an” hal. 371-372 cet. Al-Mizan[2],
Bandung pada judul “Selamat Natal[3] Menurut Al-Qur’an!!!”:
“Nabi
SAW[4] sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak
sekalipun bertanya “Di mana Tuhan?”. Tertolak riwayat yang menggunakan
redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu
tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi
SAW…”.
Pada pembahasan kali ini, sebagai pembelaan
terhadap hadits Nabi SAW dan penjagaan umat dari goncangan kerancuan
aqidah, penulis melakukan penelitian terhadap salah satu hadits tentang
masalah penting ini secara riwayah dan dirayah. Semoga Allah
menjadikannya bermanfaat bagi kita semua. Amin.
A. TEKS HADITS
Dari
Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…Saya
memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di
gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat
saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya.
Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga
marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah
SAW, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai
Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah
budak itu padaku”. Lalu Nabi SAW bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak
tersebut: “Di atas langit”. Nabi SAW bertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab
budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi SAW bersabda:
“Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”. (HR.
Muslim)
a. Takhrij Hadits
Seluruh jalan hadits ini melewati dua jalur berikut:
1. Jalur Imam Malik bin Anas – Hilal bin Ali bin Abu Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.
2. Jalur Yahya bin Abi Katsir – Hilal bin Ali bin Abi Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.
Adapun perinciaan takhrij hadits ini sebagai berikut:
1. Jalur Imam Malik
Hal
ini sebagaimana riwayat beliau sendiri dalam Al-Muwatha (2/772/no.8),
Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah (no. 242 -Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir-),
Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427) oleh
Al-Mizzi, Utsman bin Said Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no.
62), Ibnu Huzaimah dalam Kitab Tauhid (hal. 132 -Tahqiq Syaikh Khalil
Haras-), Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (10/98/no. 19984), Al-Baghawi
dalam Syarh Sunnah (9/246/no. 2365), Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid
(9/69-70) dan Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah
(2/102/no. 57).
(Faedah)
Dalam sanad imam Malik
tertulis “Umar bin Hakam” sebagai ganti dari “Mu’awiyah bin Hakam”. Para
ulama’ menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan imam Malik. Imam
pembela sunnah, As-Syafi’i berkata -setelah meriwayatkan hadits ini dari
imam Malik- : “Yang benar adalah Mua’wiyah bin Hakam sebagaimana
diriwayatkan selain Malik dan saya menduga bahwa Malik tidak hafal
namanya”.[5]
Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Demikianlah
perkataan Malik dalam hadits ini dari Hilal dari Atha’ dari Umar bin
Hakam. Para perawi darinya (Malik) tidak berselisih dalam hal itu.
Tetapi hal ini termasuk kesalahan beliau (Malik) menurut seluruh ahli
hadits karena tidak ada sahabat yang bernama Umar bin Hakam, yang ada
adalah Mu’awiyah (bin Hakam). Demikianlah riwayat seluruh orang yang
meriwayatkan hadits ini dari Hilal. Mua’wiyah bin Hakam termasuk dari
kalangan sahabat yang terkenal dan hadits ini juga masyhur darinya.
Diantara ulama’ yang menegaskan bahwa Malik keliru dalam hal itu adalah
Al-Bazzar, At-Thahawi dan selainnya”.[6]
2. Jalur Yahya bin Abi Katsir
Sepanjang penelitian saya, ada empat orang yang meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir. Berikut perinciannya:
Hajjaj bin Abu Utsman Ash-Shawwaf
*
Diriwayatkan imam Ahmad dalam Musnadnya (5/448), Al-Bukhari dalam
Juz’ul Qira’ah (hal. 70), Abu Daud (no. 931 dan 3282), Nasa’i dalam
Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427), Ibnu Khuzaimah
dalam Kitab Tauhid (hal. 132), Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah
(3/237-239/no. 726) dan At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (19/398/no.
938) dari Yahya bin Sa’id Al-Qhoththon dari Hajjaj dengannya.
*
Dan diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (6/162/no.30333)
dan al-Iman (84), Muslim dalam Shahihnya (no. 537), Ahmad (5/447), Abu
Daud (no. 931), Ibnu Hibban (165), Utsman bin Sa’id Ad-Darimi dalam
Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no.61), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (490) dan
Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (no.212 -Ghautsul Makdud oleh Al-Huwaini-)
dari Ismail bin Ibrahim (bin ‘Ulayyah) dari Hajjaj dengannya.
(Faedah)
Dalam
kitab “Juz’ul Qira’ah” hal. 20 oleh imam Bukhari cet. Darul Kutub
‘Ilmiyyah tertulis begini Yahya bin Hilal ( حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ
هِلاَلٍ). Ini adalah keliru yang benar adalah Yahya ‘an (dari) Hilal
(حَدَّثَنَا يَحْيَ عَنْ هِلاَلٍ). Yahya namanya adalah Yahya bin Abi
Katsir dan Hilal namanya adalah Hilal bin Ali bin Abi Maimunah. Wallahu
A’lam.
Al-Auza’i
* Diriwayatkan Imam Muslim dalam
Shahihnya (537), Abu Awanah dalam al-Mustkhraj (2/141), Nasa’i dalam
Sunan Sughra (3/14-18/no.1216), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid
(hal.121), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (19/398/no.937),
Al-Baihaqi dalam As-Sunan Kubra (10/98/19984) dan Al-Asma’ wa Sifat
(2/326/890-891), ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Atsar (13/367), Ibnu
Abdil Barr dalam At-Tamhid (9/71) dan Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi
Bayanil Mahajjah (2/100/no. 69).
Aban bin Yazid Al-Aththar
*
Diriwayatkan Abu Awanah dalam Al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim
(2/1141), At-Thoyyalisi dalam Musnadnya (1105), Ahmad dalam Musnadnya
(5/448), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (489), Utsman bin Sa’id
Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no. 60) dan Naqdh Alal Marisy
(122), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (939), Al-Baihaqi dalam
Al-Asma’ wa Sifat (2/326/890-891) dan Al-Lalikai dalam Syarh Ushul
I’tiqad Ahli Sunnah (3/434-435/no. 652).
Hammam bin Yahya
* Diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya (5/448).
Hadits
ini juga memiliki syawahid (penguat) dari sahabat Abu Hurairah, Abu
Juhaifah, Ibnu Abbas, Ukkasyah Al-Ghanawi dan Abdur Rahman bin Hathib
secara mursal.[7].
b. Komentar Para Ulama’ Ahli Hadits
Hadits ini disepakati keabsahannya oleh seluruh ulama’ kaum muslimin. Berikut sebagian komentar mereka:
1.
Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata: “Hadits ini disepakati
keabsahannya oleh para ulama muslimin semenjak dahulu hingga sekarang
dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar seperti Malik, Syafi’i, Ahmad
dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim, Abu Awanah, Ibnu Jarud, Ibnu
Huzaimah, Ibnu Hibban dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para
pakar dan sebagian mereka adalah para pentakwil seperti Al-Baihaqi,
Al-Baghawi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar) Al-Asqalani dan
lainnya. Lantas bagaimana pendapat seorang muslim yang berakal terhadap
orang jahil dan sombong yang menyelishi para imam dan pakar tersebut,
bahkan mencela lafadz Nabi n yang telah dishahihkan oleh para ulama
tersebut?!!..”.[8]
2. Imam Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim”.[9]
3.
Imam Al-Baghawi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim dari
Abu Bakar bin Abi Syaibah dari Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj”.[10]
4.
Imam Al-Ashbahani berkata: “Dan sungguh telah shahih dari Nabi n
bahwasanya beliau bertanya kepada seorang budak wanita yang akan
dibebaskan oleh tuannya: Dimana Allah? Jawab budak tersebut: Di atas
langit….”.[11]
5. Imam Ibnu Qudamah berkata: “Hadits ini shahih”.[12]
6.
Imam Adh-Dzahabi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim, Abu
Daud, Nasa’i dan imam-imam lainnya dalam kitab-kitab mereka dengan
memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa ta’wil dan tahrif”.[13]
7. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits shahih, diriwayatkan Muslim”.[14]
8. Al-Wazir al-Yamani berkata: “Hadits ini tsabit (shahih), diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya”.[15]
9. Imam Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata:
“Hadits
ini shahih dengan tiada keraguan. Tidak ada yang meragukan hal itu
kecuali orang jahil atau pengekor hawa nafsu yang setiapkali datang
pada mereka dalil dari Rasulullah n yang menyelisihi keyakinan sesat
mereka, maka mereka langsung berusaha membebaskan diri darinya dengan
mentakwil, bahkan meniadakannya. Dan apabila mereka tidak mampu, maka
mereka berupaya untuk mementahkan keabsahannya seperti hadits ini yang
shahih sanadnya serta dishahihkan oleh seluruh ulama’ ahli hadits tanpa
ada perselisihan pendapat di kalangan mereka sepanjang pengetahuan
saya”.[16]
* Setelah takhrij dan komentar para ulama ahli
hadits diatas[17], kita dapat mengetahui bagaimana kadar ilmu DR.
Quraish Syihab!! -semoga Allah memberinya hidayah- tentang ilmu hadits.
Ataukah memang dia sengaja berusaha untuk menyebarkan racun
pemikirannya kepada orang-orang awam?!. Tidak..Tidak …Demi Allah, pasti
akan ada pejuang kebenaran yang akan menepis kerancuan fahamnya.
Akan
senantiasa ada segolongan dari umatku yang tegak diatas Al-Haq, orang
yang melecehkan mereka tidak akan membahayakan mereka sehingga datang
hari kiamat[18].
(Faedah)
Lafadz fi (فِيْ) dalam
hadits bermakna ‘ala (عَلَى) yakni diatas, bukan bermakna zharaf (di
dalam) sebagaimana dijelaskan oleh para ulama seperti Ibnu Abdil
Barr[19] dan Al-Baihaqi[20]. Hal ini semakna dengan firman Allah:
Apakah
kamu merasa aman terhadap Yang di langit bahwa Dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
bergoncang?. (QS. Al-Mulk: 16).
Katakanlah: “Berjalanlah
di atas muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan itu”. (QS. Al-An’aam: 11).
Demikian juga semakna dengan hadits:
Orang-orang
yang pengasih akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah
(makhluk) yang di atas bumi, niscaya Yang di atas langit akan mengasihi
kalian[21].
Demikianlah penafsiran Ahlu Sunnah wal
Jama’ah yang beriman dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits mutawatir
yang menetapkan Allah di atas langit. Tidak ada penafsiran yang benar
selain ini.[22]
B. FIKIH HADITS
Hadits ini memiliki
beberapa faedah yang sangat banyak sekali, namun agar tidak terlalu
panjang, maka kita cukupkan dua faedah saja yaitu:
b.1. Disyariatkannya pertanyaan: Di mana Allah?
* Imam Ad-Dzahabi berkata:
Dalam hadits ini terdapat dua masalah:
Pertama: Disyari’atkannya pertanyaan seorang muslim; Dimana Allah?
Kedua:
Jawaban orang yang ditanya: Di atas langit. Barangsiapa yang
mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi”[23].
Syariat pertanyaan “Dimana Allah?” ini dikuatkan oleh hadits dan atsar sebagai berikut:
* a. Hadits
Dari
Abu Razin berkata: Saya pernah bertanya: Ya Rasulullah, dimana Allah
sebelum menciptakan makhlukNya? Nabi menjawab: Dia berada di atas awan,
tidak ada udara di bawahnya maupun di atasnya, tidak makhluk di sana,
dan ArsNya di atas air”. [24]
* b. Atsar
Dari Zaid
bin Aslam bercerita: “Ibnu Umar pernah melewati seorang pengembala
kambing lalu berkata: Hai pengembala kambing, adakah kambing yang layak
untuk disembelih? Jawab si pengembala tersebut: “Tuan saya tidak ada di
sini”. Ibnu Umar mengatakan: “Bilang saja sama tuanmu bahwa kambingnya
dimakan oleh serigala! Pengembala itu lalu mengangkat kepalanya ke
langit seraya mengatakan: “Lalu dimana Allah?”! Ibnu Umar berkata: Demi
Allah, sebenarnya saya yang lebih berhak mengatakan: Dimana Allah?
Kemudian beliau membeli pengembala serta kambingnya, membebaskannya dan
memberinya kambing[25].
* Abdul Ghoni al-Maqdisi berkata
mengomentari hadits ini: “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya
serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak
boleh bertanya di mana Allah setalah ketegasan pembuat syari’at dengan
perkataannya dimana Allah?!”.[26]
* Imam Ibnu Qoyyim juga
berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya: “Di mana
Allah?” Lalu dijawab oleh yang ditanya bahwa Allah berada di atas
langit. Nabi n pun kemudian ridha akan jawabannya dan mengetahui bahwa
itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau juga tidak mengingkari
pertanyaan ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah, mereka menganggap
bahwa pertanyaan “Dimana Allah?” seperti halnya pertanyaan: Apa
warnanya, apa rasanya, apa jenisnya dan apa asalnya dan lain sebagainnya
dari pertanyaan yang mustahil dan batil!”.[27]
* Syaikh
Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan: “Pendapat yang
benar menurut ahli sunnah adalah mensifati Allah dengan sifat uluw
(tinggi) yaitu diatas arsy berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits
dan boleh juga menurut ahlu sunnah bertanya: “Dimana Allah” sebagaimana
dalam Shahih Muslim Nabi shallallahu a’laihi wa sallam bertanya kepada
budak perempuan: “Dimana Allah?” Jawabnya: “Di atas langit”.[28]
*
Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nasiruddin Al-Albani juga berkata:
“Hadits ini merupakan cemeti dahsyat bagi orang-orang yang meniadakan
sifat-sifat Allah, karena hampir saja engkau tidak bertanya kepada
seorang diantara mereka dengan pertanyaan di mana Allah? Kecuali mereka
langsung mengingkarimu! Si miskin (jahil) ini tidak tahu bahwa
sebenarnya dia telah mengingkari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Semoga Allah melindungi kita semua dari ilmu kalam
(filsafat)”.[29]
* Abu Ubaidah -semoga Allah menambahkan
ilmu baginya- berkata: “Perhatikanlah perkataan para ulama’ di atas
lalu bandingkan dengan ucapan mayoritas para tokoh agama zaman sekarang
yang jauh lebih jahil daripada budak wanita diatas, dimana mereka
mengatakan: “Allah ada dimana-dimana” bahkan mengatakan: Pertanyaan
“Dimana Allah” itu adalah bid’ah. Ironisnya, aqidah sesat bin
menyesatkan ini ditanamkan kepada anak-anak dan murid-murid yang lugu,
tak mengerti apa-apa. Saya masih teringat pada bulan Ramadhan 1423H,
saya pernah diundang untuk sebagai pemateri di sebuah sekolah Islam.
Ketika saya lontarkan sebuah pertanyaan sederhana “Dimana Allah?” ini
kepada mereka, ternyata tak seorang siswa maupun siswi-pun yang dapat
menjawab secara benar bahkan seorang diantara mereka mengatakan: “Kata
pak guru, bertanya seperti itu enggak boleh!!!”. Wallahul Musta’an.
b.2. Allah berada di atas langit
*
Imam Utsman ad-Darimi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa
seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan
di bumi maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi
menjadikan tanda keimanannya adalah pengetahuannya bahwa Allah di atas
langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi “Di mana Allah “ terdapat bantahan
ucapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap
tempat, tidak disifati dengan “di mana”, sebab sesuatu yang ada di
mana-mana tidak mungkin disifati “dimana”. Seandainya Allah ada
dimana-mana sebagaimana anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan
mengingkari jawabannya…”.[30]
* Memang sederhana soalnya,
tapi sungguh aneh bin ajaib jawabannya. Bagaimana tidak? Seandainya
Anda mau berkeliling Indonesia mengajukan satu pertanyaan sederhana
ini, niscaya Anda akan mendengarkan berbagai macam jawaban yang
beraneka ragam; Alloh ada di mana-mana… Alloh tidak di atas tidak di
bawah… Alloh tidak di kanan tidak di kiri… Alloh ada di hatiku… dan
sederet jawaban lainnya. Ironisnya, mayoritas dari para penjawab yang
konyol itu adalah orang-orang yang notabene intelektual, ulama, kyai,
atau kaum terpelajar. Bagaimanakah sebenarnya masalah ini? Mari kita
ikuti ulasan berikut ini.
C. Dalil-Dalil Bahwa Allah di Atas Arsy
Sungguh
tidak syak (ragu) lagi terutama bagi orang yang mau membaca ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi n/ serta kitab-kitab ulama kita bahwa
Alloh berada di atas ‘arsy (singgasana)-Nya di atas langit. Berikut ini
dalil-dalilnya.
c.1. Dalil dari al-Qur’an
Banyak sekali dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukkan ketinggian Alloh dengan beberapa versi:
a. Kadang dengan lafazh ‘ali (tinggi) dan istiwa’ (bersemayam) di atas ‘arsy. Seperti firman Alloh:
Dan Alloh Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. al-Baqarah: 255)
Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)
b. Kadang juga dengan naiknya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman Alloh:
Kepada-Nyalah naik perkataan yang baik, dan amal shalih dinaikkan-Nya. (QS. Fathir: 10)
Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada-Nya. (QS. al-Ma’arij: 4)
c. Kadang lagi dengan turunnya sesuatu dari-Nya. Seperti firman Alloh:
Katakanlah Ruh Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an dari Rabbmu dengan benar. (QS. an-Nahl: 102)
c.2. Dalil dari as-Sunnah
Ketinggian
Alloh di atas langit juga ditegaskan dalam banyak sekali hadits Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beberapa versi, baik
berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan). Seperti sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Sesungguhnya Alloh
tatkala menetapkan penciptaan, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘arsy:
“Rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” [31]
Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit. [32]
Dan
telah tetap pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat
tangannya ke atas langit pada saat khutbah di Arafah ketika mereka
mengatakan, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan
menunaikan serta menasehati.” Di saat itu beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Ya Alloh saksikanlah.”[33]
c.3. Ijma’ (Kesepakatan) Para Ulama
Para
sahabat, para tabi’in, serta para imam-imam kaum muslimin telah
bersepakat akan ketinggian Alloh di atas langit-Nya, bersemayam di atas
‘arsy-Nya. Perkataan mereka sangatlah banyak dan masyhur, Di antaranya:
Imam
al-Auza’i berkata, “Kami dan seluruh tabi’in bersepakat mengatakan,
Alloh berada di atas ‘arsy-Nya. Dan kami semua mengimani sifat-sifat
yang dijelaskan dalam as-Sunnah.”[34]
Imam Abdullah Ibnu
Mubarak berkata, “Kami mengetahui Rabb kami, Dia bersemayam di atas
‘arsy berpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan sebagaimana
kaum Jahmiyah yang mengatakan bahwa Alloh ada di sini (beliau menunjuk
ke bumi).” [35]
3. I’tiqad salafiyah ini merupakan syi’ar
salafiyun, ahlus sunnah wal jama’ah sejak dahulu hingga sekarang,
bahkan di antaranya adalah Imam Syafi’i, Abul Hasan al-Asy’ari, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani, dan lain-lain. Tidak ada seorang pun dari ulama
terdahulu yang mengatakan bahwa Alloh ada di mana-mana, tidak di atas
tidak di bawah, dan tidak seorang pun menganggap tabu pertanyaan “Di
mana Alloh”!!
Imam Syafi’i berkata:
Aqidah yang saya
yakini dan diyaikini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti
Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidaka ada
sesembahan yang berhak kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah
dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya yakni di atas langitnya. (Adab
Syafi’I wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 93)
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 17 menceritakan aqidahnya:
Dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya sebagaimana firman-Nya: “Ar-Rahman tinggi di atas arsy”.
Pada
hal. 69-76, beliau memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang
keberadaan Allah di atas arsy. Di antara perkataan beliau:
Dan
kita melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdo’a, mereka
mengangkat tangannya ke arah langit, karena memang Allah tinggi di atas
arsy dan arsy di atas langit. Seandainya Allah tidak berada di atas
arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya ke arah arsy.
Dan
kaum Mu’tazilah, Haruriyyah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah
berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di
perut Maryam, tempat sampah dan WC. Faham ini menyelisihi agama. Maha
suci Allah dari ucapan mereka.
Oleh karenanya,
orang-orang yang berfaham Allah dimana-dimana, siapa sebenarnya yang
mereka ikuti?! Nabi, para ulama salaf, ataukah…?!! Fikirkanlah!
c.4. Dalil Akal
Setiap
akal manusia yang masih sehat, tentu akan mengakui ketinggian Alloh di
atas makhluk-Nya. Hal tersebut dapat ditinjau dari dua segi:
Pertama: Ketinggian Alloh merupakan sifat yang mulia bagi Alloh.
Kedua:
Kebalikan tinggi adalah rendah, sedang rendah merupakan sifat yang
kurang bagi Alloh, Maha Suci Alloh dari sifat-sifat yang rendah.
c.5. Dalil Fithrah
*
Sesungguhnya Alloh telah memfithrahkan kepada seluruh makhluk-Nya,
baik Arab maupun non-Arab dengan ketinggian Alloh. Marilah kita berpikir
bersama di saat kita memanjatkan do’a kepada Alloh, ke manakah hati
kita berjalan? Ke bawah atau ke atas? Manusia yang belum rusak
fithrahnya tentu akan menjawab ke atas.
* Pernah
dikisahkan bahwa suatu hari Imam Abdul Malik al-Juwaini mengatakan
dalam majelisnya, “Alloh tidak di mana-mana, sekarang ia berada di mana
pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far
al-Hamdani seraya berkata, “Wahai ustadz! Kabarkanlah kepada kami
tentang ketinggian Alloh yang sudah mengakar di hati kami, bagaimana
kami menghilangkannya?” Abdul Malik al-Juwaini berteriak dan menampar
kepalanya seraya mengatakan, “Al-Hamdani telah membuat diriku bingung,
al-Hamdani telah membuat diriku bingung.”[36] Akhirnya Imam Juwaini pun
mendapat hidayah Alloh dan kembali ke jalan yang benar. Semoga
saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau.
*
Sebenarnya masih sangat banyak lagi dalil-dalil dalam masalah ini,
semua ini telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab
mereka. Bahkan di antara mereka ada yang membahas masalah ini dalam
kitab tersendiri seperi Imam Dzahabi dalam bukunya al-‘Uluw lil Aliyyil
Azhim.
* Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu Abil Izzi
al-Hanafi yang telah mengatakan –setelah menyebutkan 18 segi dalil–,
“Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka
akan tertulis kurang lebih seribu dalil[37]. Oleh karena itu, kepada
para penentang masalah ini, hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Tapi
sungguh sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya.” [38]
D. SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Adapun
syubhat yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Syihab: “Karena ia
menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil
bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam …”.
Jawaban:
Apabila yang maksud “tempat”
adalah yang tersirat dalam benak fikiran kita yaitu setiap yang
meliputi dan membatasi seperti langit, bumi, kursi, arsy dan sebagainya
maka benar hal itu mustahil bagi Allah karena Allah tidak mungkin
dibatasi dan diliputi oleh makhluk, bahkan Dia lebih besar dan agung,
bahkan kursi-Nya saja meliputi langit dan bumi. Allah berfirman:
Dan
mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya
padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit
digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia
dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Az-Zumar: 67).
Dan telah shahih dalam Bukhari (6519) dan Muslim (7050) dari Nabi bahwa beliau bersabda:
Allah
menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya kemudian
berfirman: “Saya adalah Raja, manakah raja-raja bumi?”
Adapun
apabila maksud “tempat” adalah sesuatu yang tidak meliputi yakni
diluar alam semesta, maka Allah di luar alam semesta sebagaimana
keberadaan-Nya sebelum menciptakan makhluk. Jadi, Allah di tempat yang
bermakna kedua ini bukan makna pertama[39].
Kemudian,
khabarkanlah padaku: Apabila tuan mengingkari ketinggian Allah, lantas
saya bertanya kepada tuan tentang keyakinan tuan: “Dimanakah Allah?”.
Saya sangat yakin bahwa jawaban tuan tidak keluar dari dua hal:
Pertama: ALLAH ADA DIMANA-MANA
Faham
yang satu ini banyak dianut oleh mayoritas kaum muslimin sekarang ini.
Padahal tahukah mereka pemahaman siapakah ini sebenarnya?! Faham ini
dicetuskan oleh kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah.
Imam Ahmad
bin Hanbal telah menepis dan membongkar kerusakan faham ini dalam
kitabnya “Ar-Rad ‘ala Al-Jahmiyyah” hal. 53, beliau mengatakan: “Apabila
engkau ingin mengetahui kedustaan kaum Jahmiyyah tatkala mengatakan
bahwa Allah dimana-mana dan tidak berada di satu tempat, maka katakanlah
padanya: “Bukankah dahulu hanya Allah saja dan tidak ada sesuatu
lainnya?” Dia akan menjawab: “Benar” Lalu katakanlah padanya lagi:
“Tatkala Allah menciptakan sesuatu, apakah Dia menciptakannya pada
diri-Nya ataukah diluar dari diri-Nya?” Jawaban dia tidak akan keluar
dari tiga hal:
1. Apabila dia menyangka bahwa Allah
menciptakan makhluk pada diri-Nya, maka ini merupakan kekufuran karena
dia telah menganggap bahwa Jin, manusia, syetan dan iblis pada diri
Allah!
2. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka
di luar diri-Nya kemudian Allah masuk pada mereka, maka ini juga
kekufuran karena dia menganggap bahwa Allah berada di setiap tempat
yang menjijikkan dan kotor!
3. Apabila dia mengatakan:
Allah menciptakan mereka di luar dari diri-Nya kemudian Allah tidak
masuk pada mereka, maka ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
[40]
Konsekuansi faham sesat “Allah dimana-mana” ini
sangatlah batil sekali yaitu Allah berada di tempat-tempat yang kotor
dan membatasi Allah pada makhluk sebagaimana diceritakan dari Bisyr
Al-Mirrisyi tatkala dia mengatakan: “Allah berada di segala sesuatu”,
lalu ditanyakan padanya: Apakah Allah berada di kopiahmu ini?!
Jawabnya: Ya, ditanyakan lagi padanya: Apakah Allah ada dalam keledai?!
Jawabnya: Ya!!!
Perkataan ini sangatlah hina dan keji
sekali terhadap Allah!!! Oleh karena itulah sebagian ulama’ salaf
mengatakan: “Kita masih mampu menceritakan perkataan Yahudi dan
Nasrhani tetapi kita tak mampu menceritakan perkataan Jahmiyyah!
Kedua:
Allah tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak dikiri,
tidak di depan, tidak di belakang, tidak di dalam, tidak di luar, tidak
bersambung, tidak berpisah sebagaimana keyakinan ahli kalam
(filsafat).
Ucapan di atas jelas-jelas menunjukkan bahwa
Allah tidak ada. Inilah ta’thil (peniadaan) yang amat nyata. Maha suci
Allah dari apa yang mereka ucapkan. Alangkah indahnya perkataan Mahmud
bin Subaktukin terhadap orang yang mensifati Allah dengan seperti itu:
“Bedakanlah antara Allah yang engkau tetapkan dengan sesuatu yang tidak
ada![41]. Oleh karena itulah, sebagian ulama’ salaf juga mengatakan:
Al-Mujassim itu menyembah patung dan Al-Mua’tthil menyembah sesuatu yang tidak ada
Walhasil,
kedua jawaban diatas merupakan kebatilan yang tidak samar lagi bagi
orang yang beri hidayah oleh Allah. Semoga Allah merahmati Al-Allamah
Ibnu Qayyim tatkala mengatakan dalam qasidahnya “An-Nuniyyah”
(2/446-447 -Taudhihul Maqasid cet. Mkt Islami):
Allah Maha besar, tidak ada satu makhluk pun di atas-Nya
Allah Maha besar, arsy-Nya meliputi langit dan bumi demikian pula kursi-Nya
Allah di atas arsy dan kursi, tak bisa dijangkau oleh fikiran manusia
Janganlah engkau membatasinya pada satu tempat dengan ucapan kalian: “Allah ada di setiap tempat”
Dengan modal kejahilan, kalian mensucikan Allah dari arsy-Nya padahal kalian membatasinya pada satu tempat
Janganlah kalian tiadakan Allah dengan ucapan kalian: “Allah tidak di dalam dan tidak pula di luar alam”
Allah Maha besar, Dia telah membongkar tirai kalian dan nampak bagi orang yang punya dua mata
Allah Maha besar, Dia suci dari penyerupaan dan peniadaan, kedua sumber kekufuran.
E. KONTRADIKSI ARGUMEN Dr. M. QURAISH SHIHAB
Setelah
anda mengetahui bahwa Dr. M. Quraish Shihab mengingkari ketinggian
Allah dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”. Anehnya, kalau kita cermati
bersama dan kalau saja DR. M. Quraish Shihab juga mau mencermati, maka
akan kita jumpai dalil-dalil yang menolak fahamnya. Diantaranya:
1.
Dalam “Membumikan Al-Qur’an” hal. 338-345, Dr. Quraish Syihab mengulas
makna Isra’ Mi’raj. Dia menetapkan adanya peristiwa Isra dan Mi’raj
serta membantah gugatan kaum empirisis dan rasiaonalis yang
memustahilkannya seraya mengatakan: “Memang, pendekatan yang paling
tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh
oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: Apabila
Muhammad memberitakannya, pastilah benar”.
Alangkah
indahnya ucapan ini!! Namun sayangnya, mengapa beliau tidak menerapkan
hal yang sama dalam masalah ketinggian Allah ini?! Bukankah dalam
peristiwa Isra Mi’raj terdapat pelajaran berharga tentang ketinggian
Allah?!! Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi mengatakan: “Dalam hadits
Mi’raj ini terdapat dalil tentag ketinggian Allah ditinjau dari
beberapa segi bagi orang yang menceramatinya”.[42] Semoga saya dan anda
termasuk orang-orang yang bisa mencermatinya.
2. Dalam “Membumikan Al-Qur’an” hal. 314 pada judul Lailatul Qadr, Dr. Quraish Shihab membawakan dalil:
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (QS. Al-Qadr: 4).
Ayat
mulia ini juga kalau kita mencermatinya dengan baik merupakan salah
satu dalil tentang ketinggian Allah, karena para Malaikat dan Jibril
yang berada di dekat Allah turun pada malam Lailatul Qadr, sedang kita
faham semua bahwa makna kata turun berarti dari sesuatu yang tinggi ke
tempah yang lebih rendah. Semoga Allah menjadikan kita manusia yang
berakal.
F. TUDUHAN DAN JAWABANNYA
Satu
pembahasan lagi yang perlu diselesaikan yaitu tuduhan keji yang keluar
dari mulut kotor ahli bid’ah terhadap ahli haq yang menyatakan bahwa
Allah berada di atas langit disebut dengan kaum “Musyabbihah” atau
“Mujassimah”.
Dalam buku “Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah”
oleh KH. Sirajuddin Abbas dan dicopi oleh KH. Ach. Masduqi dalam
“Konsep Dasar Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” hal. 83 dikatakan
demikian:
“Golongan Musyabbihah ini juga dinamakan
golongan Mujassimah. Golongan ini mempunyai I’tiqad yang bertentangan
dengan golongan ASWAJA, antara lain:
1. Tuhan itu berada di atas langit.
2. Menurut golongan ASWAJA, Tuhan itu tidak berada di atas langit”.
Dan
pada hal. 84, penulis ini mengatakan: “Pada mulanya Ibnu Taimiyyah
adalah pengikut madzhab Hanbali dan banyak pengetahuannya dalam bidang
fiqih dan ushuluddin. Akan tetapi sayang sekali beliau terpengaruh oleh
faham golongan Musyabbihah/Mujassimah yang menyerupakan Tuhan dengan
makhluk…”.
Jawaban:
Tuduhan seperti sudah tidak aneh
lagi bagi kami karena memang demikianlah kebiasaan ahli bid’ah
semenjak dahulu hingga sekarang. Semoga Allah merahmati imam Abu Hatim
Ar-Razi yang telah mengatakan:
Tanda ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar. Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari ahli sunnah dengan Musyabbihah. [43]
Ishaq bin Rahawaih mengatakan:
Tanda
Jahm dan pengikutnya adalah menuduh ahli sunnah dengan penuh
kebohongan dengan gelar Musyabbihah padahal merekalah sebenarnya
Mu’atthilah (meniadakan/mengingkari sifat bagi Allah). [44]
Adapun
tuduhan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa beliau termasuk
golongan Mujassimah atau Musyabbihah, dengarkanlah perkataan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah sendiri:
“Kelompok Mu’tazilah dan
Jahmiyyah dan sejenisnya dari kalangan pengingkar sifat, mereka menuduh
orang-orang yang menetapkannya dengan gelar Mujassimah/Musyabbihah,
bahkan diantara mereka ada yang menuduh para imam populer seperti
Malik, Syafi’I, Ahmad dan para sahabatnya dengan gelar Mujassimah dan
Musyabbihah sebagaimana diceritakan oleh Abu Hatim, penulis kitab
“Az-Zinah” dan sebagainya”.[45]
# Padahal, kalau mau
dicermati, ternyata tuduhan “Mujassimah” itu sebenarnya mereka sendiri
yang pantas menerimanya (senjata makan tuan). Mengapa demikian? Karena
orang yang berfaham bahwa Allah berada di setiap tempat, dia telah
membatasi Allah pada tempat yang terbatas. Maha suci Allah dari apa
yang mereka ucapkan.
# Adapun pendapat yang menyatakan
bahwa Allah di atas langit, tidaklah melazimkan tajsim (membentuk).
Mengapa demikian? Karena perkataan kita: “Allah tinggi di atas arsy dan
berpisah dari makhluknya” tidaklah berkonotasi membatasi Allah pada
satu tempat, sebab tempat itu sesuatu yang terbatas di langit dan bumi
serta antara keduanya, sedangkan di atas arsy tidak ada tempat.[46]
::Daftar Pustaka::
[1] Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 96
[2] Penerbit Mizan, Bandung ini banyak menerbitkan buku-buku berbahaya, sesat dan menyesatkan kaum muslimin. Waspadalah!!
[3]
Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam Ahkam Ahli Dzimmah
1/205: “Mengucapkan selamat kepada orang kafir hukumnya haram menurut
kesepakatan ulama seperti ucapan selamat hari raya dan sebagainya. Kalau
bukan kekufuran, maka minimal adalah haram, sebab hal tersebut sama
halnya dengan memberi selamat atas sujud mereka terhadap salib”. (Lihat
pula Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin 8/75)
[4] Ringkasan shalawat seperti ini tidak dibenarkan, hendaknya ditulis secara sempurna.
[5] Ar-Risalah (hal. 76),
[6] At-Tamhid (9/67-68) Lihat pula Syarh Az-Zurqani (4/84) dan Tanwir Hawalik (3/5) oleh as-Suyuthi.
[7]
Lihat As-Sunnah Ibnu Abi Ashim (hal. 226-227 -Dhilalul Jannah
Al-Albani-) atau (1/344 -Tahqiq Dr. Basim Al-Jawabirah-) dan Silsilah
Ahadits As-Shahihah no. 3161 oleh Syaikh Al-Albani.
[8] Silsilah Ahadits As-Shahihah (1/11)
[9] Al-Asma’ wa Sifat (hal. 532-533 cet. Dar Kutub ‘ilmiyyah)
[10] Syarh Sunnah (3/239) dan (9/247
[11] Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/118)
[12] Itsbat Sifatil Uluw hal. 47
[13] Al-Uluw lil ‘Aliyyin Adzim 1/249, tahqiq Abdullah bin Shalih al-Barrok
[14] Fathul Bari (13/359)
[15] Al-Qowashim wal ‘Awashim 1/379-380
[16] Mukhtashar Al-Uluw hal. 82
[17]
Setelah itu, penulis mendapatkan dua kitab khusus tentang pembelaan
hadits ini, yaitu buku Aina Allah? Difa’ ‘an Hadits Jariyah Riwayah wa
Dirayah oleh Syaikh Salim al-Hilali dan risalah Takhilul Ain bi Jawaz
Sual ‘anillah bi Ain oleh DR. Shadiq bin Salim bin Shadiq. Bagi yang
ingin memperluas lagi pembhasan hadits ini, kami persilahkan membaca
dua risalah ini. Dan sebagai amanat juga, kita harus mengingatkan
pembaca dari para ahli bid’ah yang berusaha untuk mementehkan hadits
ini seperti al-Kautsari, al Ghumari, as-Saqqof dan lain sebagainya,
bahkan as-Saqqof memiiki buku berjudul “Menyuntik Pe-mahaman Dangkal
Tentang Peniadaan Lafazh Dimana Allah dalam Hadits Jariyah (budak
wanita)” sebagaimana dalam Kutub Hadzdzara minha Ulama I/300, Syaikh
Masyhur Hasan Salman.
[18] Mutawatir. Sebagaimana
ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’ Shirath
Mustaqim 1/34, as-Suyuthi dalam al-Azhar al-Mutanatsirah hal. 216,
al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 93, az-Zabidi dalam Samtul Aali
hal. 68-71, al-Albani dalam Shalatul I’dain hal. 39-40. (Lihat Bashair
Dzawi Syaraf hal. 87-98 oleh Salim al-Hilali).
[19] At-Tamhid (7/129, 130, 134)
[20] Al-Asma’ wa Sifat (377)
[21]
Shahih. HR. Abu Daud (4941), Tirmidzi (1/350), Ahmad (2/160),
Al-Humaidi (591), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (8/526), Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak (4/159). Dan dishahihkan Al-Hakim, Ad-Dzahabi,
Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar dan lain sebagainya. Lihat As-Shahihah
3/594-595/922 oleh Al-Albani).
[22] Lihat Silsilah Ahadits As-Shahihah 6/474-475 oleh Al-Albani.
[23] Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Adzim (hal. 81 -Mukhtasar Al-Albani-)
[24]
HR. Tirmidzi (2108), Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39 -Al-Mawarid),
Ibnu Abi Ashim (1/271/612), Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr dalam
At-Tamhid (7/137). Lihat As-Shahihah 6/469).
[25] Shahih.
Riwayat At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (12/263/13054) dan
sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Albani dalam As-Shahihah 6/470
dan Muhktasar Al-Uluw hal. 127.
[26] al-Iqtishod fil I’tiqod hal. 89
[27] I’lamul Muwaqqi’in (3/521)
[28] Ta’liq Fathul Bari (1/188)
[29] dalam Irwaul Ghalil (1/113)
[30] Ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 46-47
[31] HR. Bukhari 7422 dan Muslim 2751
[32] HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064
[33] HR. Muslim 1218
[34]
Shahih. Diriwayatkan Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat 408, adz-Dzahabi
dalam al-‘Uluw hal. 102 dan dishahihkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim,
dan al-Albani.
[35] Shahih. Dikeluarkan ash-Shabuni dalam Aqidah Salaf 28 dan ad-Darimi dalam ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 47.
[36] Lihat kisah lengkapnya dalam Siyar A’lam Nubala 18/475, al-‘Uluw hal. 276-277 oleh adz-Dzahabi
[37]
Sebagian pembesar sahabat Syafi’I berkata: “Dalam Al-Qur’an terlebih
seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas
para hambaNya”. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 5/121)
[38] Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 386.
[39] Muqaddimah Mukhtasar Al-‘Uluw hal. 70-71 oleh Al-Albani.
[40] Lihat pula Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 76-80 oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
[41] Lihat At-Tadmuriyyah hal. 41 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[42] Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277
[43] Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi 4/390.
[44] Syarh Ushul I’tiqad al-Lalikai (937), Syarh Aqidah At-Thahawiyyah 1/85 oleh Ibnu Abi Izzi Al-Hanafi.
[45] Minhajus Sunnah (2/75)
[46] Lihat “Al-Jama’at Al-Islamiyyah” hal. 230 oleh Salim Al-Hilali.
Merupakan kewajiban bagi setiap muslim adalah beriman terhadap
setiap hadits yang telah shahih dari Nabi, karena pada hakekatnya
hadits juga merupakan wahyu dari Allah. Allah berfirman,yang artinya:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (QS. An-Najm: 3-4)
Imam Ibnu Qudamah berkata:
“Kita
harus beriman terhadap setiap apa yang diinformasikan oleh Nabi dan
shahih penukilan tersebut, baik dijangkau oleh akal kita maupun tidak,
kita harus percaya bahwa bahwa itu benar adanya sekalipun kita tidak
mengetahui hakekatnya seperti hadits tentang Isra’ Mi’raj yang terjadi
saat sadar bukan dalam tidur, karena kaum kuffar Quraish mengingkarinya
sedangkan mereka tidak mengingkari mimpi. Demikian pula hadits yang
menceritakan bahwa Malaikat pencabut nyawa pernah dating kepada Nabi
Musa untuk mencabut nyawanya, lalu Musa memukulnya sehingga merusak
matanya, kemudian Malaikat kembali kepada Allah sehingga dikembalikan
lagi matanya. Termasuk diantaranya juga hadits-hadits yang berkaitan
tentang tanda-tanda dekatnya hari kiamat seperti keluarnya Dajjal,
turunnya Isa bin Maryam untuk membunuhnya, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj,
keluarnya hewan aneh, terbitnya matahari dari barat dan hadits-hadits
shahih lainnya yang shahih”.[1]
Pembahasan kita kali
ini adalah tentang hadits turunnya Isa bin Maryam ke dunia di akhir
zaman, yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai hadits yang tidak
terpakai. Kita berharap dengan tulisan agar kiranya dapat menambah
keimanan kita dan menghilangkan segala keraguan yang mungkin pernah
melekat pada diri kita.
A. TEKS HADITS
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه و سلم: وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَيُوْشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ
فِيْكُمْ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرُ الصَّلِيْبَ
وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيْرَ وَيَضَعُ الْجِزْيَةَ وَيَفِيْضُ الْمَالُ
حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam
bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh pasti
akan turun pada kalian Ibnu Maryam sebagai hakim yang adil lalu dia
menghancurkan salib, membunuh babi dan membebaskan pajak serta harta
begitu melimpah sehingga tak ada seorangpun yang mau menerimanya”. [2]
B. TAKHRIJ HADITS
- Karena
haditsnya mutawatir dan diriwayatkan dari sekian banyak sahabat, maka
sangatlah berat kalau kita turunkan semuanya. Oleh karenanya, cukuplah
kiranya kita tampilkan saja daftar sahabat yang meriwayatkan hadits
tentang turunnya Isa bin Maryam serta ahli hadits yang mencatatnya
dalam kitab-kitab mereka.
a. Daftar Nama Sahabat
- Abu Hurairah,
- Abdullah bin Amr,
- Jabir bin Abdillah,
- Nawwas bin Sam’an,
- Abu Umamah al-Bahili,
- Abdullah bin Umar,
- Mujammi’ bin Jariyah,
- Aisyah,
- Hudzaifah bin Asid,
- Utsaman bin Abu ‘Ash,
- Samurah bin Jundub,
- Abu Sa’id al-Khudri,
- Abdullah bin Mas’ud,
- Hudzaifah bin Yaman,
- Anas bin Malik,
- Abdullah bin Mughaffal,
- Safinah,
- Abu Bakrah,
- Auf bin Aus,
- Nafi’ bin ‘Albah,
- Tsauban,
- Kaisan,
- Ibnu Abbas.[3]
b. Daftar Nama Periwayat Hadits
Hampir tidak ada penyusun kitab hadits kecuali mencatat hadits tentang turunnya Isa bin Maryam di akhir zaman. Di antaranya adalah:
- Imam Bukhari,
- Muslim,
- Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya,
- Abu Dawud,
- Tirmidzi,
- An-Nasai,
- Ibnu Majah,
- Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhid,
- Ibnu Hibban dalam Shahihnya,
- al-Hakim dalam al-Mustadrak,
- Abu Awanah dalam al-Mustakhraj,
- al-Isma’ili dalam al-Mustakhraj,
- adh-Dhiya’ al-Maqdisi dalam al-Mukhtarah,
- ath-Thayyalisi dalam Musnadnya,
- Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya,
- Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf,
- Abu Ya’la dalam Musnadnya,
- al-Bazzar dalam Musnadnya,
- ad-Dailami dalam Musnadnya,
- ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir dan al-Ausath,
- al-Ajurri dalam asy-Syari’ah,
- al-Baghawi dalam Syarh Sunnah,
- Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wal Matsani,
- al-Ashbahani,
- Ibnu Mardawaih,
- Abdu bin Humaid dalam al-Muntakhab,
- al-Baihaqi dalam Sunan Kubra, Asma’ wa Sifat, dan al-Ba’ts wa Nusyur,
- Ibnu Asakair dalam Tarikh Dimsyaq,
- ath-Thahawi,
- Said bin Manshur,
- Abu Nu’aim dalam al-Hilyah,
- ad-Daruquthni,
- al-Khathib al-Baghdadi,
- Ibnu Hazm dalam al-Muhalla,
- Ibnu Mandah dalam al-Iman,
- Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Fitan,
- Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf,
- Hanbal bin Ishaq dalam al-Fitan,
- Ibnu Jarir dalam Tafsirnya,
- Ibnu Adi dalam al-Kamil,
- Ibnu A’rabi dalam Mu’jamnya dan lain sebagainya banyak sekali.[4]
c. Haditsnya Mutawatir
Melihat
begitu banyaknya hadits tentang turunnya Isa bin Maryam, maka para
pakar ilmu hadits menetapkan bahwa hadits-haditsnya mencapai derajat
mutawatir, diantaranya adalah:
- Imam At-Thabari dalam Jami’ul Bayan 3/291,
- Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 2/566,
- asy-Syaukani dalam risalahnya “At-Taudhih”,
- Shiddiq Hasan Khon dalam Al-Idha’ah hal. 160,
- Al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 147,
- Syaraful Haq Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud 11/307,
- Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarhul Musnad 7/98-99 dan 8/20,
- Syaikh Al-Albani dalam Ta’liq Syarah Aqidah Thohawiyyah hal. 501,
- Asy-Syanqithi dalam Adhwaul Bayan 7/128, 130, 136,
- Komisi Fatwa Saudi Arabia yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Fatawa Lajnah Daimah 3/307,
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu Fatawanya 1/453,
- Syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kisymiri dalam kitabnya At-Tashrih bima Tawatara fi Nuzuli Masih,
- Syaikh Abdullah al-Ghumari dalam Aqidah Ahli Islam fi Nuzuli Isa Alaihi Salam hal. 5,
- Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Rudud Ahli Ilmu hal. 25 dan lain sebagainya.
Abu Ubaidah -semoga Allah memberkahinya- bekata:
- Demikianlah
ketegasan para peneliti hadits. Apabila hadits tentang turunnya Isa
bin Maryam tidak mutawatir, maka tidak ada contoh hadits mutawatir di
dunia hadits selama-lamanya!!.
d. Para Ulama Yang Menshahihkan
Disamping
para ulama yang menegaskan haditsnya mutawatir akan saya sebutkan pula
beberapa ulama yang menegaskan keabsahan haditsnya dengan kata-kata
yang indah dan mantap sekalipun tidak secara tegas menetapkan
mutawatir. Diantaranya:
- Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid 5/440: “Dan dalil tentang kebenaran pendapat ini (masih hidupnya Isa sekarang) adalah hadits-hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Isa akan turun, membunuh Dajjal, menunaikan haji yang diriwayatkan dengan sanad-sanad yang tiada cacat padanya”.
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu’ Fatawa
4/329: “Adapun Al-Masih (Isa), dia pasti akan turun ke bumi di atas
menara putih sebelah timur Damaskus untuk membunuh Dajjal,
menghancurkan salib dan membunuh babi sebagaimana telah tetap dalam
hadits-hadits yang shahih. Oleh karenanya, beliau berada di langit
kedua padahal beliau lebih utama daripada Yusuf, Idris dan Harun karena
memang dia mau turun ke bumi sebelum tiba hari kiamat, berbeda halnya
dengan para nabi lainnya”.
- Al-Hafizh Al-Hatsami berkata dalam Bahrul Fawaid:
“Tentang turunnya Isa telah shahih dari sejumlah hadits yang banyak
sekali. Diriwayatkan oleh para imam yang terpercaya dan tidak ada yang
menolaknya kecuali orang yang sombong dan penyimpang”. [5]
e. Kesepakatan Ulama
- Berdasarkan
dalil-dalil yang sangat jelas di atas, maka seluruh ulama terpercaya
bersepakat bahwa turunnya Isa kelak di akhir zaman merupakan aqidah
Islam yang wajib diimani oleh setiap muslim. Tidak ada yang
mengingkarinya kecuali para ahli filsafat dan penyimpang agama yang
sesat, menyesatkan dan menyelisihi Al-Qur’an, hadits dan kesepakatan
ahli sunnah”. Demikian ditegaskan oleh As-Saffarini dalam Lawami’ Anwar 2/94-95 dan Syaikh Syaraful Haq Adzim Abadi dalam Aunul Ma’bud 11/312.
f. Beberapa Kitab Khusus Berkaitan Turunnya Isa bin Maryam
Begitu seriusnya masalah penting ini, maka sebagian peneliti hadits menulis secara khusus. Diantaranya:
- Imam Jalaluddin Ash-Suyuthi dalam bukunya yang berjudul “Nuzul Isa bin Maryam Akhir Zaman”.
Buku ini telah dicetak Darul Kutub Ilmiyyah, Bairut dengan editor
Muhammad Abdul Qadir Atha. Dalam kitab ini, beliau menyebutkan beberapa
hadits. Pada hal. 22, beliau menegaskan bahwa turunnya Isa bin Maryam
dengan menegakkan hukum Islam didukung oleh hadits-hadits yang shahih
dan kesepakatan ulama. Pada hal. 53-54, beliau membantah syubhat dan
takwil sebagian kalangan seraya menegaskan bahwa pengingkaran turunnya
Isa merupakan bentuk kekufuran. Pada hal. 56, beliau menceritakan bahwa
ada sebagian orang yang mengingakari bahwa Isa shalat shubuh di
belakang Al-Mahdi, bahkan mengarang tulisan khusus tentangnya. Imam
Suyuthi membantahnya: “Ini sangat lucu sekali, karena shalatnya Isa di
belakang Mahdi ditegaskan dalam hadits-hadits yang shahih (lalu
memaparkannya)”.
- Al-Hafizh Asy-Syaukani dalam risalahnya “At-Taudhih fi Tawaturi Maa Ja’a fi Al-Mahdi wa Dajjal wal Masih[6]”.
Dalam buku ini, beliau memaparkan sebanyak dua puluh sembilan hadits,
kemudian beliau memaparkan dan menyimpulkan: “Seluruh hadits yang saya
paparkan di atas mencapai derajat mutawatir sebagaimana tidak samar
lagi bagi para peneliti (ilmu hadits)”.
- Syaikh Muhammad Anwar Al-Kisymiri Al-Hindi (Wafat Th. 1352 H) dalam bukunya yang berjudul “At-Tashrih Bimaa Tawatara fi Nuzul Al-Masih”.
Buku ini telah tercetak dengan editor Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah.
Dalam bukunya ini, beliau mengumpulkan hadits-hadits tentang turunnya
Isa sehingga mencapai sebanyak tujuh puluh hadits lebih.
- [7]. Syaikh Abul Fadhl Abdullah Muhammad As-Shiddiq Al-Ghumari menulis sebuah risalah berjudul “Aqidah Ahli Islam fi Nuzul Isa Alaihi Salam”.
Buku ini telah dicetak dan diterbitkan Maktabah Al-Qahirah. Dalam kitab
ini, dia menyebutkan para sahabat yang meriwayatkan hadits turunnya
Isa bin Maryam sehingga mencapai lebih dari dua puluh lima sahabat dari
tiga puluh lebih tabi’in. Pada hal. 5 dia menegaskan: “Tidak ada
secuil keraguanpun tentang mutawatirnya hadits tentang turunnya Isa bin
Maryam. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang jahil
dan dungu seperti kelompok Al-Qodiyaniyyah (Baca: Ahmadiyyah -pent) dan
orang-orang yang sealiran dengan mereka, sebab telah dinukil dari
jalan yang begitu banyak sekali sehingga tetap dalam kitab-kitab hadits
secara mutawatir dari generasi ke generasi selanjutnya”.
Pada
hal. 12 dia menegaskan: “Sungguh telah shahih keyakinan tentang
turunnya Isa dari sejumlah sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para imam
dan seluruh ulama dari berbagai madzhab sepanjang masa hingga hari ini”.
- Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam risalahnya yang berjudul “Qisshah Al-Masih Dajjal wa Nuzul Isa…”
Dalam kitab ini, beliau memaparkan hadits-hadits tentang keluarnya
Dajjal dan turunnya Isa dari empat puluh sahabat. Pada hal. 24-25 beliau
mengatakan: “Cukuplah akan hal itu kesepakatan para ulama pakar ahli
hadits tentang mutawatirnya hadits Dajjal dan turunnya Isa dari langit
seperti Al-Hafizh Ibnu Katsir[8], Ibnu Hajar[9] dan selainnya, bahkan
Imam As-Syaukani menulis sebuah risalah khusus berjudul “At-Taudhih fi Tawaturi Maa Ja’a fi Al-Mahdi wa Dajjal wal Masih”.
C. SYUBHAT PENGKRITIK HADITS
Sementara
sebagian kalangan menghujat hadits-hadits tersebut hanya bertelakan
pada berbagai alasan yang sangat kropos sekali. Diantaranya:
1. Syaikh Mahmud Syaltut[10]
berpendapat bahwa hadits-hadits yang meriwayatkan tentang turunnya
Nabi Isa mudhtharib (goncang). Dan juga hadits-hadits tersebut
derajatnya Ahad, sedang masalah aqidah ditetapkan berdasarkan nash
qath’I seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir[11].
2. Prof. KH. Hasbullah Bakri, SH.
Dalam bukunya “Nabi Isa dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad dalam
Biybel. Diantara pendapatnya ialah: Hadits Bukhari dari Abu Hurairah
tentang akan turunnya Nabi, walaupun dinyatakan shahih tetapi
bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Nabi Isa telah
wafat. Tambahan lagi hadits ini bersumber dari Abu Hurairah yang
kecerdasannya kurang tinggi sedang isinya mengandung persoalan historis
yang tinggi.
3. Dr. Quraish Shihab mengatakan
bahwa ada ulama yang menyatakan “Isa as masih hidup di langit” bukanlah
suatu kewajiban untuk mempercayainya. Serta beberapa hadits yang
berkaitan dengan kenaikan Isa Al-Masih dan akan turun kelak menjelang
kiamat. Hadits-hadits tersebut kesemuanya bermuara pada dua orang saja,
yang keduanya bekas penganut agama Kristen, yaitu Ka’ab Al-Akhbar dan
Wahb bin Munabbih (yang masih punya keterkaitan pada kepercayaan
lamanya). Dengan demikian pengertian QS. 3:55 di atas bukan dalam arti
diangkat fisiknya tapi diangkat derajatnya ke sisi Allah swt[12].[13]
4. Syaikh Muhammad Abduh
berkata: “Hadits tersebut hanyalah ahad dan berkaitan dengan masalah
aqidah karena menunjukkan perkara-perkara ghaib. Sedangkan masalah
aqidah tidak boleh diambil kecuali yang bersifat qath’iy (pasti) sebab
dituntut sesuatu yang menyakinkan. Dan tidak ada dalam masalah ini
hadits yang mutawatir”. Dia juga memaparkan pendapat para ulama seputar
turunnya Isa Al-Masih lalu memperkuat pendapat yang menyatakan bahwa
Isa tidak turun dan dia mentakwil ayat seraya berkata: “Makna رَافِعُكَ
yaitu terangkatnya ruh setelah kematiannya, sedangkan arti turunnya ke
bumi yaitu tersebarnya perdamaian dan toleransi diantara manusia”.[14]
5. Hasan Abdullah At-Turabi
mengingkari turunnya Isa di akhir zaman. Tatkala ditanya: Bagaimana
anda berani mengingkari hadits mutawatir? Jawabnya: “Saya tidak
membicarakan hadits dari segi sanadnya tetapi menurut saya hadits itu
bertentangan dengan akal, sedangkan apabila dalil bertentangan akal,
maka akal harus lebih didahulukan”. [15]
Dari komentar di atas dapat ditarik kesimpulan syubhat mereka pada dua point:
Pertama: Kritik dari segi sanad yaitu:
a. Sahabat Abu Hurairah
b. Hanya bermuara pada Ka’ab Al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih
c. Haditsny mudhtharib (goncang)
d. Haditsnya Ahad
Kedua: Dari segi matan yaitu:
a. Ta’wil arti turun
b. Bertentangan dengan akal
c. Kontradiksi dengan Al-Qur’an
.
D. MENJAWAB SYUBHAT
Sebelum menjawab syubhat para pengingkar tersebut satu-persatu, penulis mengajak saudara pembaca untuk berpikir dengan otak jernih:
“Mungkinkah
para pengkritik tersebut dalam kebenaran sedang mereka sendiri
berselisih tentang alasannya?” Ketahuilah wahai saudaraku bahwa
perselisihan mereka itu saja sudah cukup menunjukkan kroposnya hujjah
mereka. Sadarkah para pengingkar tersebut bahwa kelakuan mereka itu
pada hakekatanya adalah mencela Nabi, para sahabat, para imam ahli
hadits yang berjerih payah merekam hadits tersebut? Pikirkanlah
baik-baik!!
Baiklah, sekarang dengan memohon pertolongan dari Allah mari kita jawab alasan mereka satu-persatu walaupun secara ringkas.
Pertama: Abu Hurairah, sahabat bermasalah.
Jawab: Alasan ini sangat rapuh sekali dan amat berbahaya bagi pelontarnya sendiri ditinjau dari beberapa segi[16]:
- Mencela
sahabat termasuk perbuatan dosa besar dan kemunafikan yang tak samar
lagi berdasarkan kesepakatan ulama. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid
mengatakan: “Seluruh pemeluk agama Islam bersepakat bahwa mencela salah
satu sahabat merupakan bentuk kemunafikan yang nyata…”.[17]
- Kalau
memang kalian tidak mau menerima riwayat Abu Hurairah karena dia
bermasalah, lantas apakah para sahabat lainnya yang begitu banyak
seperti Abdullah bin Umar, Nawwas bin Sam’an … juga bermasalah? Jawablah
hai orang yang dikaruniai akal!!! Bila riwayat mereka masih tetap
tidak dipercayai juga, maka saya ucapkan selamat tinggal dari dunia!!
Karena pada hakekatnya anda telah menghancurkan pondasi-pondasi agama,
menghina Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, syari’at Islam, para ulama dan seluruh kaum muslimin semuanya? Apakah anda menyadarinya?
.
Kedua: Haditsnya bermuara pada Ka’ab Al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih
Jawab:
- Ucapan
ini menunjukkan kurangnya pengetahuan pelontarnya tentang ilmu hadits.
Karena anda tahu sendiri bahwa hadits ini diriwayatkan oleh begitu
banyak para sahabat Nabi. Kami tidak mengerti, apakah ucapan tersebut
didasari kebodohan ataukah penyesatan ataukah kedua-duanya?!!
- Perlu diketahui bahwa riwayat Ka’ab Al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sangat sedikit sekali. Dan hukum riwayat keduanya dalam ilmu musthalah
hadits disebut “Mursal” karena keduanya tidak berjumpa dengan Nabi,
sedangkan hadits mursal bukanlah hujjah. Adapun riwayat keduanya dari
sahabat dan tabi’in, maka para ulama mengoreksinya seperti riwayat para
tabi’in lainnya. [18]
- Ucapan Dr. Quraish Shihab ini telah didahului sebelumnya oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah ar-Risalah. Syaikh al-Albani
berkata: “Saya telah meneliti hadits-hadits tentang turunnya Isa dari
sumber aslinya (kitab-kitab hadits) seperti kutub sittah dan lain
sebagainya sehingga saya dapat mengumpulkan banyak hadits dari beberapa
jalur yang mutawatir lebih dari empat puluh sahabat. Saya sangat
terkejut sekali ketika saya tidak menemukan nama Wahb bin Munabbih dan
Ka’ab al-Ahbar pada jalur sanad-sanad tersebut sekalipun dalam hadits
yang lemah sanadnya. Saya lalu berkeyakinan bahwa Syaikh Syaltut hanya
menulis sesuai dengan apa yang terlintas dalam benaknya saja tanpa
meneliti kitab-kitab hadits. Lalu saya menulis sebuah risalah terpisah
untuk mencounter fatwanya itu tetapi…”.[19]
.
Ketiga: Haditsnya “Mudhtarib”
Jawab:
- Hadits “Mudhtarib”
itu adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi atau beberapa
rawi yang banyak dengan berbagai macam redaksi yang berbeda, sama-sama
kuat dan tidak mungkin untuk dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.
Perbedaan tersebut menunjukkan tidak kuatnya hafalan rawi padahal itu
adalah syarat sahnya suatu hadits. Sekalipun bisa terjadi pada matan
(isi) hadits, namun yang paling banyak adalah pada sanad hadits. [20]
- Setelah
anda memahami defenisi hadits mudhtarib, maka katakanlah padaku:
Apakah hadits pembahasan kita termasuk kategori mudhtarib?! Adakah
hadits shahih lain yang menyelisihnya?! Ahli hadits mana yang
mengatakannya termasuk “mudhtarib”?! Dengan demikian maka dapatlah kita
ketahui bahwa hadits turunnya Isa tidaklah termasuk mudhtarib (goncang)
tetapi yang mudhtarib adalah pemikiran pelontarnya sendiri yang jauh
dari ilmu hadits.
.
Keempat: Haditsnya “Ahad”
- Hadits ahad hanya bersifat zhan (prasangka), tidak qath’i (pasti), sedangkan masalah aqidah harus bersifat pasti.
Jawab:
1. Kalian setuju dan bersepakat dengan kami bahwa hadits mutawatir menunjukkan qath’I
(sesuatu yang menyakinkan). Lantas, siapakah yang paling berhak
menetapkan hadits ini ahad, sedang hadits itu mutawatir? Tentunya ahli
hadits. Sekarang kita ketahui bersama bahwa ahli hadits telah menetapkan
hadits tersebut berderajat mutawatir. Lantas kenapa kalian masih
bersikukuh menetapkannya berderajat ahad?! Kenapa kalian tidak percaya
kepada penelitian ahli hadits dan lebih percaya kepada orang yang bukan
ahli dalam bidangnya?!!!
Supaya lebih memantapkan saudara pembaca, berikut saya nukilkan perkataan berharga seorang pakar ilmu hadits abad ini, Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam Ta’liq Syarh Aqidah Thohawiyyah hal. 501:
وَاعْلَمْ
أَنَّ أَحَادِيْثَ الدَّجَّالِ وَنُزُوْلِ عِيْسَى q مُتَوَاتِرَةٌ
يَجِبُ الإِيْمَانُ بِهَا وَلاَ تَغْتَرَّ بِمَنْ يَدَّعِيْ فِيْهَا
أَنَّهَا أَحَادِيْثُ آحَادٌ فَإِنَّهُمْ جُهَّالٌ بِهَذَا الْعِلْمِ
وَلَيْسَ فِيْهِمْ مَنْ تَتَبَّع طُرُقَهَا وَلَوْ فَعَلَ لَوَجَدَهَا
مُتَوَاتِرَةً كَمَا شَهِدَ بِذَلِكَ أَئِمَّةُ هَذَا الْعِلْمِ
كَالْحَافِظِ ابْنِ حَجَرٍ وَغَيْرِهِ. وَمِنَ الْمُؤْسِفِ حَقًّا أَنْ
يَتَجَرَّأَ الْبَعْضُ عَلَى الْكَلاَمِ فِيْمَا لَيْسَ مِنْ
اخْتِصَاصِهِمْ, لاَ سِيَّمَا وَالأَمْرُ دِيْنٌ وَعَقِيْدَةٌ.
Ketahuilah
bahwa hadits-hadits tentang Dajjal dan turunnya Isa bin Maryam telah
mencapai derajat mutawatir yang wajib diimani. Janganlah anda tertipu
dengan anggapan sebagian kalangan yang menyatakan bahwa haditsnya
hanyalah ahad sebab mereka adalah manusia yang jahil tentang ilmu
hadits. Tak ada dari kalangan mereka yang mau menelitinya. Seandainya
mereka benar-benar mau menelitinya, niscaya mereka akan mendapatinya
mutawatir sebagaimana ditegaskan oleh para pakar ilmu hadits seperti
Ibnu Hajar dan lainnya. Sungguh amat disayangkan ketika sebagian
manusia lancang berbicara tentang sesuatu yang bukan bidangnya.
Lebih-lebih masalah ini berkaitan tentang aqidah dan agama.
2. Ketahuilah bahwa sekalipun para ulama ahli hadits berbeda pendapat tentang hadits ahad apakah menunjukkan zhan atau qath’i, tetapi mereka tidak berselisih pendapat tentang hujjahnya hadits ahad. Janganlah
anda tertipu oleh bualan dan filsafat sebagian kalangan yang mengoceh
dan mengecoh umat dengan perselisihan ulama tentang; apakah hadits ahad
menunjukkan dhan atau qath’i. Jadi, taruhlah haditsnya memang
berderajat ahad, apakah berarti kita membuangnya begitu saja? Tak ada
satupun ulama ahli hadits yang bertindak demikian, itu hanyalah
pemahaman aneh dan filsafat kotor yang diusung dari pemikiran
Mu’tazilah dan ahli kalam (filsafat). Camkanlah hal ini baik-baik pada
hati kita!.
3. Pendapat para ulama ahli hadits yang lebih kuat
bahwa tidak seluruh hadits ahad menunjukkan dhan, tetapi kadang-kadang
bisa menunjukkan qath’i (pasti) apabila ada indikasi penguatnya seperti
riwayat Bukhari Muslim, hadits masyhur yang banyak jalannya dan lain
sebagainya[21].
Bila kita teliti hadits pembahasan kita, niscaya
akan kita dapati bahwa dia menunjukkan sesuatu yang qath’i karena
memiliki qarinah-qarinah tersebut. Hal Itu kalau kita menganggap
haditsnya hanya ahad, apalagi telah terbukti haditsnya berderajat
mutawatir. Wallahu A’lam.
.
Kelima: Ta’wil Arti Turun
Jawab:
- Kalau
kita tilik dan cermati beberapa hadits tentang turunnya Isa secara
tenang, pasti akan kita rasakan bahwa ta’wil seperti itu sangat kaku
dan lucu. Perhatikanlah hadits lafadz-lafadz haditsnya secara jernih
seperti “lalu dia menghancurkan salib, membunuh babi dan membebaskan
pajak”. “Isa bin Maryam shalat di belakang imam Al-Mahdi”.[22] Isa bin
Maryam turun di menara putih sebelah timur Damaskus, memakai pakaian
yang harum sambil meletakkan kedua lengan tangannya pada sayap dua
malaikat, rambutnya meneteskan air, bila dia mengangkat kepala, maka
air berkilau seperti berlian. Orang yang mencium baunya, pasti akan
mati seketika dan baunya sejauh dia memandang. Hingga Isa mencari Dajjal
dan ketemu di pintu Luddin (sebuah kota dekat Baitul Maqdis) dan
membunuhnya”.[23] “Isa menunaikan ibadah haji/ umrah”.[24] “Isa kemudian
wafat dan dishalati kaum muslimin” [25]
Sungguh alangkah bagusnya ucapan Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah
tatkala membantah ta’wil ini: “Merupakan kebatilan yang sangat keji dan
kelancangan yang sangat kelewatan batas terhadap Allah dan rasul-Nya
adalah ta’wil sebagian kalangan tidak seperti dhahirnya. Sebab dia telah
mengumpulkan dua bencana:
- Pertama: Mendustakan dan tidak mengimani dalil-dalil yang tegas tentang turunnya Isa.
- Kedua: Menuduh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling mengerti syari’at dan ahli penasehat sebagai orang yang berbicara ngacau dan rancu, maksud ucapannya tidak seperti dia sabdakan secara dhahir. Sungguh ini merupakan kedustaan yang tiada taranya dan penipuan terhadap umat yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berlepas diri darinya. Ucapan seperti ini serupa dengan pendapat kaum
para penyeleweng yang menisbahkan pada rasul dengan kerancuan demi
maslahat mayoritas manusia”.[26]
Ajaibnya, takwil seperti ini juga digugat oleh Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya yang berjudul Kaifa Nata’amal Ma’a As-Sunnah An-Nabawiyyah hal. 169-170.
.
Keenam: Bertentangan Dengan Akal
Jawab:
1.
Katakanlah padaku: Semudah itukah kalian mementahkan hadits Nabi? Bila
sesuai dengan akal kalian, baru diterima dan bila tidak sesuai akal
kalian, maka ditolak begitu saja?! Seperti inikah sifat orang-orang
yang mengaku beriman kepada Allah? Ataukah ini adalah ciri bala tentara
Iblis yang dicontohkan oleh nenek moyang mereka tatkala memprotes
perintah Allah dengan akalnya:
قَالَ مَامَنَعَكَ أَلاَّتَسْجُدَ إِذْأَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاخَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
Allah
berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di
waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya:
“Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raf: 12).
2.
Kalau agama ini berdasar pada akal, maka katakan padaku: “Mengapa
Allah mewajibkan shalat shubuh sebanyak dua rakaat, maghrib tiga
raka’at, sedangkan dhuhur, ashar dan isya empat rakaat?” Kenapa bacaan
shalat dhuhur dan ashar lirih, sedangkan shubuh, maghrib dan isya
dikeraskan?! Jawablah!!
3. Kalau agama ini berdasar pada akal,
maka katakan padaku juga: “Akal siapakah yang menjadi standar dan
patokan?” Apakah akal para ulama ataukah sembarangan orang?! Alangkah
bagusnya ucapan Al-Qadhi Iyadh:
“Turunnya
Isa dan pembunuhannya terhadap Dajjal merupakan kebenaran menurut ahli
sunnah wal Jama’ah berdasarkan hadits-hadits shahih tentang masalah
tersebut. Tidak ada dalil akal maupun naql yang memustahilkannya. Oleh
karenanya, maka aqidah ini wajib diimani. Adapun Mu’tazilah, Jahmiyyah,
cs mengingkari aqidah ini…”.[27] Ucapan in dinukil dan disetujui oleh
Imam Nawawi[28]
.
Ketujuh: Kontradiksi Dengan Al-Qur’an
Jawab:
1.
Metode menubrukkan Al-Qur’an dengan hadits shahih merupakan ciri khas
ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu semenjak dahulu hingga sekarang,
karena hadits shahih diturunkan bukan untuk menentang Al-Qur’an, tetapi
untuk menafsirkan dan menjelaskannya sebagaimana firman Allah:
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan. (QS. An-Nahl: 44).
Kemudian katakanlah padaku:
- Siapakah
orang yang paling faham tentang tafsir Al-Qur’an?!! Bukankah mereka
adalah Nabi, para sahabat, serta para ulama Islam?!! Benar. Tetapi
anehnya, kenapa mereka tidak mempersoalkannya?! Apakah anda lebih
pandai daripada mereka?!!
2. Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan tentang turunnya Isa bin Maryam kelak di akhir zaman:
1. Firman Allah:
وَإِن مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلاَّلَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا
Tidak
ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa)
sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi
saksi terhadap mereka. (QS. An-Nisa’: 159).
Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Abbas, penafsir ulung mengatakan: “Yakni sebelum kematian Isa bin Maryam”.[29]
Imam Al-Hasan Al-Bashri juga berkata:
“Yakni
sebelum kematian Isa. Demi Allah, Isa sekarang masih hidup di sisi
Allah, tetapi apabila dia turun, maka mereka akan beriman semua”.
- Tafsir ini dikuatkan oleh mayoritas ulama seperti Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan sebagainya. [30]
2. Firman Allah:
وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِّلسَّاعَةِ فَلاَ تَمْتَرُنَّ بِهَا وَاتَّبِعُونِ هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
Benar-benar
memberikan pengetahuan tentang hari kiamat. Karena itu janganlah kamu
ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus. (QS. Az-Zukhruf: 61).
- Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Abbas mengatakan tentang ayat yang mulia ini: “Maksudnya adalah keluarnya Isa bin Maryam sebelum hari kiamat tiba”. [31]
- Al-Hafizh Ibnu Katsir juga berkata dalam Tafsirnya 7/222: “Pendapat yang benar bahwa dhamir tersebut kembali pada Isa karena konteks kalimatnya berkaitan tentang beliau”. [32]
3.
Adapun alasan sebagian kalangan bahwa Isa sekarang telah wafat
berdasarkan dalil surat Ali-Imran: 155, maka jawabannya cukup panjang,
tetapi cukuplah saya mengatakan: “Siapakah pendahulu anda dalam faham
ini?! Bukankah mereka adalah kaum Yahudi yang didustakan oleh Allah?!!
Demi Allah, benar sekali. Oleh karena itu, para pemikir komtemporer yang
mengingkari turunnya Isa dan menyakini wafatnya beliau sekarang, pada
hakekatnya da adalah cucu pewaris Yahudi.
.
E. Kesimpulan dan Penutup
Sebagai kata kesimpulan, Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menegaskan:
“Turunnya
Isa telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, hadits mutawatir dan ijma
ulama Islam sehingga mereka selalu menyebutnya dalam kitab-kitab
aqidah. Barangsiapa yang mengingkarinya dengan alasan haditsnya “Ahad”
tidak menunjukkan qath’i atau menta’wil bahwa maksud sebenarnya adalah
manusia pada akhir zaman berpegang teguh dengan akhlak Isa Al-Masih
berupa kasih sayang dan lemah lembut atau manusia menerapkan ruh
syari’at dan intinya, maka semuaa itu adalah kebatilan nyata yang
bertentangan dengan aqidah para imam kaum muslimin, bahkan nyata-nyata
merupakan bentuk penentangan nash-nash shahih dan mutawatir, kejahatan
terhadap syari’at yang mulia, kelancangan sangat terhadap Islam dan
hadits Nabi, menuhankan hawa nafsu, keluar dari rel kebenaran dan
petunjuk, orang tersebut tidak memiliki ilmu mapan tentang syari’at dan
keimanan yang kuat serta pengagungan terhadap dalil dan hukum Islam”.
[33]
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
abiubaidah.com
[1] Lum’atul I’tiqad 101-104 -Syarh Ibnu Utsaimin-.
[2] HR. Bukhari no. 2222 dan Muslim no. 242.
[3] Lihat Qishshatul Masih Dajjal wa Nuzul Isa al-Albani hal. 25- 28
[4] Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar 6/492.
[5] Dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadir 5/573. (Lihat pula Al-Manarul Munif hal. 148 oleh Ibnu Qayyim dan Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 4/64 oleh Al-Qurthubi.
[6] Penulis belum mendapatinya sendiri, tetapi risalah ini banyak dinukil oleh para ulama seperti Al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 145-146, Shiddiq Hasan Khon dalam Al-Idha’ah hal. 113, Al-Adhim Abadi dalam Aunul Ma’bud 11/308 dan Syaikh Al-Albani dalam Qhisshah Dajjal wa Nuzul Isa hal. 25 dan lain sebagainya.
[7]. Dinukil dari kitab “Asyraat As-Saa’ah” hal. 351 oleh Syaikh Yusuf bin Abdullah Al-Wabil cet. Dar Ibnul Jauzi.
[8] An-Nihayah Ibnu Katsir 1/148.
[9]. Barangkali yang beliau maksud adalah keterangan Al-Hafizh dalam Fathul Bari 6/493-494 menukil ucapan Abul Hasan Al-Aburri dalam Manaqib Syafi’i:
“Telah mutawatir hadits-hadits yang menerangkan bahwa Al-Mahdi
termasuk kalangan umat ini dan Isa shalat (bermakmum) di belakangnya”.
[10]
Terlepas apakah beliau telah kembali meralat ucapannya ini ataukah
tidak, namun yang terpenting bagi kita adalah mengingatkan umat dari
kesalahan pendapat beliau yang termuat dalam al-Fatawa. Kami katakana hal ini, sebab dalam risalahnya al-Bid’ah Asbabbuha wa Madharuha
hal. 30 beliau menguatkan hadits-hadits tentang turunnya Isa. Diperkuat
lagi oleh apa yang diceritakan DR. al-Buthi dalam kitabnya Kubra Yaqiniyyat al-Kauniyyah hal. 269: “Sebagian
para ulama Azhar yang dekat dengan Syaikh Syaltut meriwayatkan bahwa
beliau di akhir kehidupannya, di saat beliau terkena penyakit stroke di
rumahnya, dia membakar semua kertas dan kitab yang berisi
pendapat-pendapatnya yang ganjil, khususnya masalah turunnya Isa bin
Maryam, dan beliau bersaksi di hadapan mereka bahwa beliau telah
bertaubat kepada Allah dari keyakinan tersebut dan kembali memeluk
aqidah mayoritas kaum muslimin Ahli Sunnah wal Jama’ah”. (Dinukil dari muqaddimah Syaikh Ali Hasan al-Halabi dalam al-Fatawa al-Muhimmat
karya Syaikh Mahmud Syaltut hal. 13-15). Para ulama telah membantah
pendapat Syaikh Syaltut tentang pengingkarannya terhadap turunnya Isa,
seperti Syaikh Humud at-Tuwaijiri dalama Ithaf Jama’ah 3/128-136, Syaikh al-Albani dalam Muqaddimah Qishshatul Masih, dll. Dan Syaikh Al-Allamah Abdullah bin Ali bin Yabis memiliki sebuah kitab berjudul menarik “I’lamul Anam mi Mukhalafah Syaikh Azhar Syaltut lil Islam”. (Pemberitahuan kepada manusia tentang penyimpangan Syaikh Syaltut terhadap Islam).
[11] Al-Fatawa hal. 61-62).
[12] Republika, 18 Nopember 1994 hal. 10. Dikutip dari “Kenaikan dan Kebangkitan Isa as dalam Bybel dan Al-Qur’an” hal. 14 oleh Hj. Irene Handono. (Majalah Al-Muslimun 398 Mei 2003 hal. 22-23).
[14] Al-A’mal Al-Kamilah 5/37-38 dan lihat Tafsir Al-Manar 3/316-317. Syaikh Khalil al-Harras memiliki risalah bantahan khusus kepada Syaikh Rasyid Ridha dalam masalah ini berjudul “Fashlul Maqal fi Raf’I Isa Alaihi Salam Hayyan wa fii Nuzulihi wa Qathlihi Dajjal”.
[15] Dinukil dari Dirasat fi Sirah Nabawiyyah hal. 308 oleh Syaikh Muhammad Surur Zainal Abidin.
[16] Lihat kembali pembahasan “Hadits Lalat antara Ahli Hadits dan Ahli Medis” dalam buku ini
[17] Tashnif An-Nas baina Dhanni wal Yaqin hal. 26
[18] Al-Anwar Al-Kasyifah Syaikh Abdur Rahman al-Mu’allimi hal. 98.
[19] Qishshatul Masih Dajjal wa Nuzul Isa hal. 24
[20] Lihat Tadrib Rawi 1/262 oleh Imam As-Suyuthi.
[21] Lihat Ma’rifah Ulum Hadits Ibnu Sholah hal. 29, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 18/22-49, Al-Baits Hatsits Ibnu Katsir 1/125-128 dan Nuzhah Nadhar Ibnu Hajar hal. 74.
[22] HR. Muslim 247.
[23] HR. Muslim 2137.
[24] HR. Muslim 1252.
[25] HR. Ahmad 2/406, Abu Dawud 11/456 dan dishahihkan Ibnu Hajar 6/493.
[26] Majmu Fatawa Ibnu Baz 1/455 cet. Dar Al-Wathn.
[27] Ikmal Mu’lim bi Fawaid Muslim 8/492
[28] Syarh Shahih Muslim 18/383. Perlu diketahui bersama bahwa Imam Nawawi termasuk seorang ulama yang menguatkan bahwa hadits ahad menunjukkan zhan secara mutlak baik riwayat Bukhari Muslim maupun selainnya sebagaimana dalam A-Taqrib hal. 40 dan Syarah Shahih Muslim
1/26. Tetapi lihatlah wahai saudaraku bagaimana beliau tetap berhujjah
dengan hadits ini. Maka camkanlah hal ini baik-baik agar anda tidak
tertipu oleh filsafat yang dungu. Wallahu A’lam.
[29] Riwayat Ibnu Jarir 6/18 dan dishahihkan Ibnu Katsir dalam An-Nihayah 1/131 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 6/492.
[30] Lihat Tafsir At-Thabari 6/21, Tafsir Ibnu Katsir 2/415 dan Adhwaul Bayan As-Syanqithi 7/129-130.
[31] Dikeluarkan Imam Ahmad 4/329 dan dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir.
[32] Lihat pula Tafsir At-Thabari 25/90-91, Tafsir Al-Qurthubi 16/105 dan Adhwaul Bayan As-Syanqithi 7/128).
[33] Majmu Fatawa Ibnu Baz 1/454.
Related posts:
- TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA
- Rancangan Artikel Ilmiah Membela Hadits Nabi
- Daurah Intensif Ustadz Yusuf As-Sidawi di Cikarang Akhir Mei 2010
- Muqaddimah Rubrik Membela Hadits Nabi
- Film Nabi, Virus Berkedok Agama
Posted in Aqidah.
Tagged with Bantahan, Nabi Isa, Telaah Khusus.
11 comments
By Admin – April 30, 2010
11 Responses
Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.
abu elhan says
assalaamu’alaikum..
Ana
pernah bertanya kepada seorang ustd ttg makna “mutawaffiika” dalam QS
3:155 dan dijawab bahwa makna nya adalah “tidur”. Jadi Isa bin maryam
itu tidaklah “mati” pada waktu itu (sebagaimana telah matinya para Nabi
dan Rasul lainya), tetapi hanya “ditidurkan” oleh Allah, dan lalu
“diangkat” ke sisi Nya ( rafi’uka ilayyya ).
JIka memang benar
demikian penjelasan QS 3:155 tsb, maka mohon dijelaskan mengenai hadits
ttg isra’ mi’raj yang disebutkan bahwa Nabi Muhammad bertemu dengan
Isa bin Maryam, selain juga bertemu dengan para Nabi & Rasul
sebelum beliau yang telah disepakti bhw mereka semua itu telah
wafat/”mati”dan bukan “tidur” spt Isa bin Maryam dan tatkala Muhammad
bertemu dg Isa bin Maryam disebutkan bahwa Isa menyambut kedatangan
Muhammad beserta JIbril…. Jadi Isa tidak sedang “tidur”.Syukron atas kesediaan Ustd untk menjelaskan hal tsb.
Wassalamu’alaikum..
May 10, 2010, 2:19 pm
abdul majid says
“Syaikh
Bakr bin Abdullah Abu Zaid mengatakan: “Seluruh pemeluk agama Islam
bersepakat bahwa mencela salah satu sahabat merupakan bentuk
kemunafikan yang nyata…”.
kalimat yang saya kutip diatas adalah
kalimat yang sangat hebat, namun saya hanya ingin tahu makna kata
“sahabat”atau “sahabat rasulullah” sukur-sukur bisa disebutkan
siapa-siapa sahabat nabi itu? tolong jawabannya.
May 27, 2010, 12:01 pm
abu nabila says
Allahu akbar. jazakallah khair wa barakallahu fik ustadz walhamdulillah
June 4, 2010, 12:44 pm
elfan says
Baik Dajjal, Al Mahdi ataupun Nabi Isa As. yang akan turun kembali ke bumi, pada dasarnya tidak ada dalam Al Quran.
Dajjal sudah ada sejak manusia ada, seperti kasus pembunuhan antaranak Adam As;
Al
Mahdi atau Imam Mahdi sudah datang sebagaimana diharapkan oleh Nabi
Ibrahim As. dlm QS. 2:129 yakni nabi pamungkas, penutup para nabi,
ajarannya berlaku sampai akhir zaman itulah Nabi kita Muhammad SAW (QS.
5:3 dan 33:40), inilah Al Mahdi yang sesungguhnya.
Nabi Isa As.
yang ‘konon’ akan datang kembali ke dunia, ternyata dibantah oleh Al
Quran sendiri, bahwa misi para rasul dan nabi terdahulu sudah selesai
dan dia tak akan diminta pertanggung jawaban atas nabi/rasul sesudahnya
yakni Nabi Muhammad SAW (QS. 2:134 dan 141).
November 14, 2010, 10:34 am
Ramlan bin Asman bin Muhammad (Ibnu Muhammad Al-Jakartawi) says
Untuk Elfan yang jahil
Semoga Allah memberikan semangat untuk menuntut ilmu
Memang
tentang Dajjal, Al Mahdi dan turunnya Nabi Isa As tidak dijelaskan
secara terperinci didalam Al-Qur’an, Namun Allah SWT menjelaskannya
secara mujmal dalam Al-Qur’an. Sebagaimana Allah SWT menjelaskan dalam
surat Al Hasyr ayat 7 yang artinya
…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia…
Adapun
tentang Dajjal, Al Mahdi dan turunnya Nabi Isa As, Allah telah
menjelaskannya secara terperinci didalam Sunnah Nabi kita yang mulia
SAW. Oleh karena itu wajib bagi kita meyakini apa yang dijelaskan dalam
Al-Qur’an dan Sunnah.
Wahai elfan, apa yang telah engkau sebutkan
dalam QS. 2:129, QS. 5:3 dan QS 33:40 adalah kalimat yang Haq, tetapi
yang kamu maksud adalah Bathil… Sebab tidak ada satupun dari kalangan
muffasirin/ahli tafsir yang menafsirkan seperti apa yang kau tafsirkan
bahwa Al Mahdi adalah Rasulullah SAW, ini pernyataan yang sesat dan
menyesatkan yang keluar dari pemikiran orang-orang yang bodoh. Sebab
Rasulullah SAW sendiri menjelaskan bahwa Al Mahdi adalah keturunannya
dan namanya sama dengan Rasulullah SAW yaitu Muhammad bin Abdillah.
Adapun
Nabi Isa As ketika Allah turunkan akhir jaman, bukanlah diutus untuk
membawa risalah kenabian akan tetapi beliau Nabi Isa As diutus untuk
membunuh Dajjal dan sebagai hakim yang adil lalu dia
menghancurkan salib, membunuh babi dan membebaskan pajak serta harta
begitu melimpah sehingga tak ada seorangpun yang mau menerimanya. Adapun
syari’at yang digunakan adalah syari’at Nabi Muhammad SAW.
Semoga
Allah SWT senantiasa membimbing kita diatas jalan yang lurus dan
melindungi kita dari fitnah-fitnah syubhat yang keluar dari mulut
orang-orang yang memiliki hati yang kotor dan pemikiran yang sesat dan
mereka menyimpang dari Manhaj para Sahabat Radhiyallahu anhum.
November 20, 2010, 11:00 am
elfan says
Ada
beberapa hal yang perlu kajian, seperti baik tentang Dajjal, Al Mahdi
ataupun Nabi Isa As. yang akan turun kembali ke bumi, pada dasarnya
tidak ada dalam Al Quran.
Dajjal sudah ada sejak manusia ada, seperti sejak terjadinya kasus pembunuhan antaranak-anak Adam As;
Kalau
kita mau teliti lbh lanjut Al Quran, maka sinyal tentang istilah Al
Mahdi atau Imam Mahdi, walaupun istilah ini tidak ada dalam Al Quran,
sinyalnya sudah ada dan sudah datang sebagaimana diharapkan oleh Nabi
Ibrahim As. dlm QS. 2:129 yakni harapan beliau (Ibrahim As) agar
didatangkan seorang nabi pamungkas, penutup para nabi, ajarannya
berlaku sampai akhir zaman.
Dan, sesuai dengan perjalanan
peradaban umat manusia yang sudah dianugerahi Allah SWT dengan beberapa
nabi/rasul-Nya, maka sudah sepatutnya Allah SWT ‘menetapkan’ nabi
pemungkas tersebut dan itulah Nabi kita Muhammad SAW (QS. 5:3 dan
33:40), inilah Al Mahdi yang sesungguhnya.
Sedangkan tentang Nabi
Isa As. yang ‘konon’ akan datang kembali ke dunia, ternyata dibantah
oleh Al Quran sendiri, bahwa misi para rasul dan nabi terdahulu ya
termasuk Nabi Isa As. sudah selesai dan dia tak akan diminta
pertanggung jawaban atas nabi/rasul sesudahnya yakni Nabi Muhammad SAW
(QS. 2:134 dan 141).
Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak
berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku
mengetahui yang GHAIB, tentulah aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak
lain hanyalah PEMBERI PERINGATAN, dan PEMBAWA BERITA GEMBIRA bagi
orang-orang yang beriman” (QS. 7:188)
February 21, 2011, 4:04 pm
elfan says
Paus: Allah Memenuhi Janjinya dengan Cara Mencengangkan
Jumat, 24 Desember 2010 | 8:34[LONDON]
Paus Benediktus XVI mengatakan bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya
tetapi sering mencengangkan kita bagaimana Dia memenuhi janji-janji-Nya
itu. Demikian pesan Pemikiran Hari Ini (Thought for the Day) Radio BBC
yang akan disiarkan Jumat (24/12).
Dalam sebuah acara istimewa
untuk perayaan malam natal, Paus Benediktus merekam pesannya di Roma
pada Rabu (22/12) dan pesannya itu akan disiarkan pada program hari ini
BBC pukul 07.45 waktu London.
“Saya menyertakan Anda semua dalam
doa-doa saya pada perayaan natal ini,” kata Paus dalam rekaman
tersebut, yang juga dimuat di website BBC.
Disebutkan, natal
adalah waktu dalam sejarah ketika Israel menunggu seorang Mesias yang
mereka gambarkan sebagai seorang pemimpin besar yang akan membangun
kembali kebebasan mereka.
Tetapi Allah mencengangkan mereka karena
Mesias yang mereka tunggu-tunggu itu adalah Yesus, seorang anak
dilahirkan di Bethlehem yang akan menjadi penyelamat mereka. Siaran itu
dilakukan tiga bulan setelah Paus berusia 83 tahun itu mengunjungi
Inggris.
Dalam pesan itu, para pendengar akan mendengar suara Paus
yang berkata, “Saya gembira mendapat kesempatan untuk menyampaikan
salam kembali kepada Anda dan sungguh menyampaikan salam kepada para
pendengar luar biasa di mana pun yang sedang mempersiapkan merayakan
kelahiran Kristus.” [AFP/A-21]
http://www.suarapembaruan.com/internasional/paus-allah-memenuhi-janjinya-dengan-cara-mencengangkan/2239
March 24, 2011, 2:48 pm
elfan says
Orang
Yahudi menunggu kedatangan Mesias, Orang Kristen, Katholik dsb.
menunggu Yesus datang kembali, dan sebagian Orang Muslim menunggu Nabi
Isa As. kembali bersama Imam Mahdi pula. Wah kok bisa sama maksudnya,
jelas berarti mereka menyimak doa dan harapan Nabi Ibrahim sebagaimana
dlm QS. 2:129.
Dlm Al Quran S. 7:156-158, terjawab bahwa yang
ditunggu oleh umat-umat itu adalah Nabi kita Muhammad SAW, seorang
Rasulullah, penutup para nabi, imam mahdi, satrio piningit, ratu adil,
jadi jangan ditunggu lagi Nabi Isa As. dan Imam Mahdi.
Jika kedua
tokoh ini (Isa As dan Imam Mahdi datang), berarti kedua tokoh ini
lebih sempurna kedudukannya dari Nabi kita Muhammad SAW. Padahal
kedudukan dan missi Nabi Muhammad SAW telah digariskan dlm QS. 5:3.
March 24, 2011, 3:00 pm
jiya says
bagaimana
jika hadis bertentangan dengan quran?kita harus jujur dan jeli melihat
bahwahanya orang2 bodoh saja yang menolak quran.sesungguhnya kita
manusia tidak perduli apak dia hindu,budha,yahudi,nasrani ataupun
muslim semuanya sangat gemar merubah2 kitab suci.hanya saja islam lebih
beruntung karena jaminan Allah ttg kemurnian alquran.hanya saja orang2
yang sama penyakitnya dengan ulama2 yahudi dan masehi yang gemar
merubah2 firman Allah yaitu muslim juga termasuklah penulis di web ini
gemar mengikuti kata2 palsu dan menolak quran.jadi kepada saudaraku
muslim….janganlah menolak quran dan taatlah hayna pada hadis yang
sesuai dengan quran.jangan ikuti hadis yang terpengaruh dengan ahli
kitab seperti hadis palsu ttg kedatangan isa bin maryam..beliau tdk
akan turun..JANGAN BODOH….
June 2, 2011, 12:57 pm
Abu Ubaidah says
Akhi
Jiya, kita harus ingat bahwa hadits juga wahyu dari Allah. Jadi tidak
mungkin saling bertentangan, anggapan bertentangan hanya ada dalam
benak orang yang belum memahaminya secara baik. Pemikiran seperti di
atas adalah pemikiran ingkar sunnah yang sudah dikabarkan oleh Nabi
beberapa abad lalu. Kewajiban kita adalah mengimani al-Qur’an dan
hadits yang shahih. Maka tanyakanlah pada diri anda; siapa ulama
panutan anda yang menolak hadits-hadits tentang turunnya Isa?!!!
June 4, 2011, 3:34 pm
vega says
PUJI
TUHAN TERNYATA YANG TURUN YESUS SENDIRI…..SEMOGA KITA BISA BERBUAT
RENDAH HATI SALING MEMNGHORMATI 1 SAMA LAIN ……MENCINTAI MJENJAGA
MEMBIMBING MEMELIUHARA KETENTRAMAN UMAT BER AGAMA ….APAPUN AGAMANYA
ALLAH ADALAH TUHANNYA